Selamat Datang di Blog Bimbingan Konseling Islam ((Semoga Anda Terinspirasi))

Selasa, 11 Januari 2011

Metode Pendidikan Islam

METODE PENDIDIKAN ISLAM





Di Susun Oleh:
Riyan Hidayat
Bimbingan dan konseling islam





Fakultas Tarbiyah
Institut Agama Islam Negeri
Lampung






Abstrak





Dalam kehidupan modern sekarang ini telah terjadi distorsi nilai rohaniyah, seolah-olah nilai kemanusiaan telah mati, alat-alat diubah menjadi tujuan, produksi dan konsumsi barang-barang menjadi tujuan hidup, sekarang ini banyak manusia menjadi sangat sulit untuk tergetar hatinya ketika disebut nama Allah SWT, tidak lagi merasa takut apabila disebutkan tentang azab neraka, ini menunjukkan bahwa pendidikan tidak dapat membawa barokah dalam kehidupan manusia, padahal sesungguhnya sebuah pendidikan harus dapat menghidupkan kehidupan spiritual manusia, menumbuhkan suara kemanusiaan dan ketuhanan dalam suara batinnya, di samping mengembangkan manajerial untuk memenuhi kebutuhan obyektifnya. Konsepsi keimanan dan ketaqwaan belum dijabarkan kedalam pengertian operasional kependidikan sehingga belum dapat diinternalisasikan melalui berbagai potensi kejiwaan yaitu potensi psikologis yang bercorak berkeselarasan antara akal kecerdasan dengan perasaan yang melahirkan prilaku yang akhlakulkarimah dalam hidup berbangsa dan bernegara.









Pendahuluan






Manusia dalam kenyataan hidupnya menunjukan bahwa ia membutuhkan suatu proses belajar yang memungkinkan dirinya untuk menyatakan eksistensinya secara utuh dan seimbang. Manusia tidak dirancang oleh Allah SWT. untuk dapat hidup secara langsung tanpa proses belajar terlebih dahulu untuk memahami jati dirinya dan menjadi dirinya. Dalam proses belajar itu seseorang saling tergantung dengan orang lain. Proses belajar itu dimulai dengan orang terdekatnya. Proses belajar itulah yang kemudian menjadi basis pendidikan.


Aktivitas pendidikan terkait dengan perubahan yang secara moral bersifat lebih baik, ciri perubahan atau kemajuan secara fundamental adalah terjadinya perkembangan internal diri manusia yaitu keimanan dan ketaqwaan, bukan hanya perubahan eksternal yang cenderung bersifat material yang dapat menghancurkan keimanan dan ketaqwaan manusia.


Dalam kehidupan modern seperti sekarang ini, produk pendidikan sering hanya diukur dari perubahan eksternal yaitu kemajuan fisik dan material yang dapat meningkatkan pemuasan kebutuhan manusia. Masalahanya adalah bahwa manusia dalam memenuhi kebutuhan sering bersifat tidak terbatas, bersifat subyektif yang sering justru dapat menghancurkan harkat kemanusiaan yang paling dalam yaitu kehidupan rohaninya. Produk pendidikan berubah menghasilkan manusia yang cerdas dan terampil untuk melakukan pekerjaannya, tetapi tidak memiliki kepedulian dan perasaan terhadap sesama manusia. Ilmu pengetahuan yang dikembangkan menjadi instrumen kekuasaan dan kesombongan untuk memperdayai orang lain, kecerdikannya digunakan untuk menipu dan menindas orang lain, produk pendidikan berubah menghasilkan manusia yang serakah dan egois.


Ketidakberhasilan tertanamnya nilai-nilai rohaniyah (keimanan dan ketaqwaan) terhadap peserta didik (murid) dewasa ini sangat terkait dengan dua faktor penting dalam proses pembelajaran di samping banyak faktor-faktor yang lain, kedua faktor tersebut adalah strategi pembelajaran serta orang yang menyampaikan pesan-pesan ilahiyah (guru). Dalam sistem pendidikan Islam seharusnya menggunakan metode pendekatan yang menyeluruh terhadap manusia, meliputi dimensi jasmani dan rohani (lahiriyah dan batiniyah), di samping itu keberhasilan sebuah proses pembelajaran sangat ditunjang oleh kepribadian setiap penyampai pesan (guru).


Dari banyak faktor yang menyebabkan gagalnya pendidikan, metode pembelajaran dan mentalitas pendidik memerlukan perhatian khusus. Sebagus apapun tujuan pendidikan, jika tidak didukung oleh dua faktor tersebut, yaitu metode yang tepat dan mentalitas pendidik yang baik, sangat sulit untuk dapat tercapai dengan baik. Sebuah metode akan mempengaruhi sampai tidaknya suatu informasi secara memuaskan atau tidak, bahkan sering disebutkan cara atau metode kadang lebih penting daripada materi itu sendiri. Oleh karena itu pemeliharaan metode pendidikan Islam harus dilakukan secara cermat disesuaikan dengan berbagai faktor terkait sehingga hasil pendidikan memuaskan.[1]

Nabi Muhammad SAW. sebagai manusia terakhir yang dipilih Allah SWT. untuk menyampaikan risalahNya, sejak awal sudah mencontohkan dalam mengimplementasikan metode pendidikan Islam yang benar terhadap para sahabatnya, strategi pembelajaran yang beliau lakukan sangat akurat, dalam menyampaikan ajaran Islam beliau sangat memperhatikan situasi, kondisi dan karakter seseorang, Rasulullah SAW. merupakan sosok guru yang ideal dan sempurna, sehingga nilai-nilai Islam dapat dengan baik ditransfer kepada murid.

Nabi Muhammad SAW. Sangat memahami naluri dan kondisi setiap orang, sehingga beliau mampu menjadikan mereka suka cita, baik meterial maupun spiritual, beliau senantiasa mengajak orang untuk mendekati Allah SWT. dan syari’atNya sehingga terpelihara fitrah manusia melalui pembinaan diri setahap demi setahap, penyatuan kecenderungan hati dan pengarahan potensi menuju derajat yang lebih tinggi, lewat cara seperti itulah beliau membawa masyarakat kepada kebangkitan dan ketinggian derajat.






Pembahasan


A. Pengertian Metode Pendidikan Islam


Salah satu komponen penting untuk mencapai keberhasilan pendidikan dalam mencapai tujuan adalah ketepatan menentukan metode, sebab tidak mungkin materi pendidikan dapat diterima dengan baik kecuali disampaikan dengan metode yang tepat. Metode diibaratkan sebagai alat yang dapat digunakan dalam suatu proses pencapaian tujuan, tanpa metode, suatu materi pelajaran tidak akan dapat berproses secara efesien dan efektif dalam kegiatan belajar mengajar menuju tujuan pendidikan.

Secara etimologi, istilah metode berasal dari bahasa Yunani “metodos”, kata ini terdiri dari dua suku kata yaitu “metha” yang berarti melalui atau melewati dan “hodos” yang berarti jalan atau cara. Metode berarti suatu jalan yang dilalui untuk mencapai tujuan.[2] Jika metode tersebut dikaitkan dengan pendidikan Islam, dapat membawa arti metode sebagai jalan untuk menanamkan pengetahuan agama pada diri seseorang sehingga terlihat dalam pribadi obyek sasaran, yaitu pribadi Islami, selain itu metode dapat membawa arti sebagai cara untuk memahami, menggali, dan mengembangkan ajaran Islam, sehingga terus berkembang sesuai dengan perkembangan zaman.[3]

Dalam pandangan filosofis pendidikan, metode merupakan alat yang dipergunakan untuk mencapai tujuan pendidikan. Alat ini mempunyai dua fungsi ganda, yaitu polipragmatis dan mono pragmatis. Polipragmatis bilamana metode mengandung kegunaan yang serba ganda, misalnya suatu metode tertentu pada suatu situasi kondisi tertentu dapat digunakan membangun dan memperbaiki. Kegunaannya dapat tergantung pada si pemakai atau pada corak, bentuk, dan kemampuan dari metode sebagai alat, sebaliknya monopragmatis bilamana metode mengandung satu macam kegunaan untuk satu macam tujuan. Penggunaan mengandung implikasi bersifat konsisten, sistematis dan kebermaknaan menurut kondisi sasarannya mengingat sasaran metode adalah manusia, sehingga pendidik dituntut untuk berhati-hati dalam penerapannya.

Metode pendidikan yang tidak tepat guna akan menjadi penghalang kelancaran jalannya proses belajar mengajar, sehingga banyak tenaga dan waktu terbuang sia-sia. Oleh karena itu metode yang diterapkan oleh seorang guru, baru berdaya guna dan berhasil guna jika mampu dipergunakan untuk mencapai tujuan pendidikan yang ditetapkan. Dalam pendidikan Islam, metode yang tepat guna bila ia mengandung nilai nilai yang intrinsik dan eksrinsik sejalan dengan materi pelajaran dan secara fungsional dapat dipakai untuk merealisasikan nilai-nilai ideal yang terkandung dalam tujuan pendidikan Islam.[4]

Dari rumusan-rumusan di atas dapat di maknai bahwa metode pendidikan Islam adalah berbagai macam cara yang digunakan oleh pendidik agar tujuan pendidikan dapat tercapai, karena metode pendidikan hanyalah merupakan salah satu aspek dari pembelajaran, maka dalam menentukan metode apa yang akan digunakan, harus selalu mempertimbangkan aspek aspek lain dari pembelajaran, seperti karakter peserta didik, tempat, suasana dan waktu .





B. Prinsip Metode Pendidikan Islam


Agar proses pembelajaran tidak menyimpang dari tujuan pendidikan Islam, seorang pendidik dalam meggunakan metodenya harus berpegang kepada prinsip-prinsip yang mampu mengarahkan dan kepada tujuan tersebut. Dengan berpegang kepada prinsip-prinsip tersebut, seorang pendidik diharapkan mampu menerapkan metode yang tepat dan cocok sesuai dengan kebutuhannya.

Dengan berlandaskan kepada ayat-ayat al-Quran dan al-Hadis, M. Arifin menetapkan sembilan (9) prinsip yang harus dipedomani dalam menggunakan metode pendidikan Islam, kesembilan prinsip tersebut adalah:[5] prinsip memberikan suasana kegembiraan, prinsip memberikan layanan dengan lemah lembut, prinsip kebermaknaan, prinsip prasyarat, prinsip komunikasi terbuka, prinsip pemberian pengetahuan baru, prinsip memberikan model prilaku yang baik, prinsip pengamalan secara aktif, prinsip kasih sayang




C. Metode Pendidikan Islam


Sebelum Nabi Muhammad SAW. memulai tugasnya sebagai Rasul, yaitu melaksanakan pendidikan Islam terhadap umatnya, Allah SWT. telah mendidik dan mempersiapkannya untuk melaksanakan tugas tersebut secara sempurna, melalui pengalaman, pengenalan serta peran sertanya dalam kehidupan masyarakat dan lingkungan budayanya, dengan potensi fitrahnya yang luar biasa.[6]


Dalam diri Nabi Muhammad SAW., seolah-olah Allah SWT. telah menyusun suatu metodologi pendidikan Islam yang sempurna, suatu bentuk yang hidup dan abadi selama sejarah kehidupan manusia masih berlangsung. Berbagai kepribadian terpuji terkumpul di dalam satu pribadi, yang masing-masing melengkapi bagian-bagian lain, seakan-akan pribadi itu sesuatu yang mempunyai banyak sisi yang berbeda, kemudian dipertautkan menjadi suatu benda yang lebih luas, tersusun rapi menjadi suatu lingkaran yang sangat sempurna dengan unsur-unsur pribadi yang disusun dengan baik dan teratur.


Sebagai manusia pilihan yang sudah dipersiapkan oleh Allah SWT. untuk menyampaikan risalah Islam, tentu saja dalam melaksanakan tugas tersebut selalu berada di bawah pengawasan dan bimbinganNya, akan tetapi sebagai manusia biasa yang diberikan akal, hati dan indra lainnya, Rasulullah SAW. adalah manusia yang sangat cerdas, kreatif, inovatif dalam menyampaikan risalah Islam yang sekaligus sebagai materi dari pendidikan yang menjadi tugas utama Nabi.


Sebagai pribadi, Rasulullah SAW. memiliki kepribadian dan nilai-nilai kepemimpinan serta pola manajemen yang baik, sehingga strategi pembelajaran Rasulullah SAW. dapat dilaksanakan dan berhasil dengan baik. Tidak dapat dipungkiri, bahwa Rasulullah SAW. adalah seorang Rasulullah yang tentunya berbeda dengan manusia biasa yang segala sikap dan tingkah laku serta perbuatannya sangat dipengaruhi bahkan selalu dalam bimbingan wahyu. Tetapi sebagai manusia, Rasulullah memang telah memiliki kepribadian yang terpuji sehingga beliau memperoleh predikat “al-amin” artinya yang jujur, begitupun dengan kemampuan beliau sebagai seorang pemimpin dan kombinasi dari kemampuan dan sikapnya yang mulia serta didukung oleh bimbingan Allah SWT. yang terus menerus, pembelajarannya dapat berhasil dengan baik.


Berdasarkan Hadis-Hadis yang ada, dalam kontek pembelajaran, Nabi Muhammad SAW. sangat kaya dengan strategi dalam menyampaikan pesan-pesan pendidikannya, sehingga tujuan pendidikan yang dikehendaki dapat tercapai dengan baik. Beberapa strategi pembelajaran yang dilakukan oleh Nabi Muhammad SAW. antara lain :






1. Mendidik dengan Contoh Teladan


Nabi Muhammad SAW. Merepresentasikan dan mengekspresikan apa yang ingin diajarkan melalui tindakannya, dan kemudian menerjemahkan tindakannya ke dalam kata-kata. Bagaimana memuja Allah SWT., bagaimana bersikap sederhana, bagaimana duduk dalam shalat dan do’a, bagaimana sujud dengan penuh perasaan, bagaimana tunduk, bagaimana nangis kepada Allah SWT. di tengah malam, bagaimana makan, bagaimana tertawa, bagaimana berjalan- semuanya itu dilakukan oleh Rasulullah SAW.[7] Seluruh perilaku Rasulullah SAW. tersebut kemudian menjadi acuan bagi para sahabat sekaligus merupakan materi pendidikan yang tidak langsung.

Mendidik dengan contoh (keteladanan) adalah salah satu strategi pembelajaran yang dianggap besar pengaruhnya, hal ini sudah dibuktikan oleh Nabi Muhammad SAW. Sebagai hasilnya, apapun yang diajarkan dapat diterima dengan segera dari dalam keluarga dan oleh masyarakat pengikutnya, karena ucapannya menembus ke hati mereka. Segala yang dicontohkan oleh Rasulullah dalam kehidupannya merupakan cerminan kandungan al-Qur’an secara utuh, sebagaimana firman Allah dalam Q.S. Al-Ahzab: 21.

“Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari kiamat dan dia banyak menyebut Allah”.





Beberapa prilaku Nabi Muhammad SAW. yang menjadi “uswah hasanah” antara lain :

a. Tentang Kesederhanaan Nabi Muhammad SAW.


Dalam kedudukannya seperti itu, Nabi Muhammad SAW. tidak pernah menganggap dirinya lebih besar dan lebih hebat dibandingkan dengan orang lain, ia tidak gila penghormatan dari orang lain, ia hidup dan berpakaian seperti orang paling miskin, ia duduk dan makan bersama-sama dengan masyarakat (termasuk budak dan hamba sahaya), tidurnya beralaskan tikar yang terbuat dari pelepah daun kurma, sehingga ketika ia bangun dari tidurnya masih nampak goresan-goresan tikar di pipinya.

Kerendahan hati adalah salah satu sifat teragung Nabi Muhammad SAW. Dia mencapai derajat tertinggi setiap harinya, dia terus bertambah rendah hati dan tunduk kepada Allah SWT. Satu ketika Nabi Muhammad menggambarkan tentang bagaimana seharusnya seorang beriman hidup di dunia, dalam kata-katanya yang sangat pendek namun penuh makna, seperti Hadis riwayat Ahmad, Muslim dan Turmuzi dari Abu Hurairah berikut ini :


“Dunia itu penjara bagi orang yang beriman dan syurga bagi orang kafir”






Nabi Muhammad SAW. tidak pernah tergoda untuk hidup bersenang-senang di dunia ini, ia telah mewakafkan seluruh kehidupannya untuk mengajak orang lain kembali kepada jalan yang benar, keyakinan bahwa dunia bersifat sementara untuk menuju kehidupan yang abadi di akhirat ia wujudkan dalam gaya hidup kesehariannya, sehingga Rasulullah SAW. benar-benar telah memberikan ketauladanan dalam kesederhanaan hidup di dunia ini.




b. Tentang Kedermawanan Nabi Muhammad SAW.


Rasulullah SAW. selama hayatnya dikenal sebagai manusia yang sangat dermawan, ia suka memberikan apa saja yang dimilikinya, dia ikut dalam berdagang sampai ia menjadi Nabi dan mendapatkan banyak harta kekayaan, setelah itu dia dan isterinya membelanjakan hartanya di jalan Allah SWT, sehingga ketika Hadijah istrinya meninggal dunia, tidak ada uang untuk membeli kain kafan. Rasulullah harus meminjam uang untuk biaya pemakaman istrinya.[8]

Rasulullah SAW. diutus untuk membimbing manusia menuju kebenaran, karenanya ia menghabiskan hidup dan hartanya untuk tujuan tersebut. Jika ia mau, Rasulullah SAW. dapat menjadi orang terkaya di Mekkah, tetapi dia tidak pernah berpikir untuk diri sendiri, yang selalu ia pikirkan adalah umatnya. Rampasan perang yang diperolehnya tidak pernah dikuasai untuk kepentingannya, bahkan yang menjadi haknyapun diberikan kepada orang lain.

Rasulullah SAW. selalu memberi kepada setiap orang yang meminta kepadanya, ia tidak pernah mengatakan tidak kepada siapa saja yang membutuhkan pemberiannya, bahkan ketika ada yang meminta sesuatu dan Rasulullah SAW. dalam keadaan tidak memiliki apa-apa, Rasulullah SAW. memberikan janji untuk memberi permintaan tersebut jika dirinya sudah memiliki

Rasulullah SAW. juga selalu memberikan keyakinan kepada para sahabat, bahwa sifat dermawan tidak akan menyebabkan diri menjadi miskin, karena sesungguhhnya kekayaan yang paling berharga adalah kekayaan yang dinafkahkan di jalan Allah SWT. seperti Nabi pernah bersabda kepada Bilal, karena Bilal menyimpan persediaan makanan, dengan dasar takut tidak ada makanan dikemudian hari.





“Bersedekahlah hai Bilal, jangan engkau takut dari (Allah) yang mempunyai Arsy menjadi berkekurangan (miskin)”





Dalam hal kedermawanan, Rasulullah SAW. benar-benar telah memberikan suri tauladan yang dapat dipedomani, sehingga ketika beliau menganjurkan orang lain agar mau bersodaqah dan memiliki sifat pemberi, sesungguhnya beliau telah mencontohkan dalam kehidupannya sehari-hari.





c. Tentang tertawa Nabi Muhammad SAW.


Nabi Muhammad SAW. tidak saja menjadi contoh dalam persoalan-persoalan yang besar, tetapi dalam hal-hal yang dianggap tidak begitu penting oleh sebagian besar manusia, Rasulullah SAW. tetap saja merupakan sosok yang patut diteladani. Dalam berbagai riwayat diceritakan bahwa Rasulullah SAW. adalah sosok manusia yang tidak pernah tertawa terbahak-bahak seperti layaknya kebanyakan orang, apabila menemui sesuatu yang lucu atau dalam keadaan gembira suka tertawa terbahak-bahak dalam waktu yang cukup lama, sampai-sampai sakit perutnya karena tertawa tersebut.

Rasulullah SAW. tidak pernah tertawa kecuali terseyum, senyum Rasulullah SAW. sangat mempesona, penuh dengan makna dan menjadikan dirinya semakin berkharisma, jika ia terlanjur tertawa maka Rasulullah segera menutupkan tangan ke mulutnya.Diriwayatkan oleh Ahmad dari Jabir ibn Samurah ra. ia berkata :

“Adalah Rasulullah SAW. Itu lama diamnya, sedikit tertawanya”






d. Senda Gurau Nabi Muhammad SAW.


Sebagai manusia biasa yang bergaul dengan masyarakat luas, Rasulullah SAW. tidak bisa melepaskan diri untuk tidak menyesuaikan suasana kehidupan bermasyarakat. Nabi Muhammad SAW. bukanlah seorang pemimpin yang kaku dan serba formal dalam bergaul, justru sebaliknya ia dapat hidup dengan sangat luwes dengan berbagai kalangan. Salah satu warna kehidupan bermasyarakat adalah suasana rileks dengan bersenda gurau, dalam hal demikian Nabi Muhammad SAW. ternyata pandai bersenda gurau, bahkan gurauan Nabi Muhammad SAW. adalah gurauan yang penuh dengan makna pendidikan.

Diriwayatkan oleh Al-Turmuzi dari Hasan al-Bisri, ia berkata :” pada suatu hari ada seorang perempuan tua datang menghadap kepada Nabi lalu berkata;” Ya Rasulallah, mohonkanlah kepada Allah, supaya Dia memasukan aku ke dalam sorga.”, mendengar permohonan itu, beliau bersabda ” hai ummu Fulan, sesungguhnya surga itu tidak akan dimasuki oleh seorang perempuan tua”. Perempuan itu lalu berpaling dan menangis, oleh karenannya Nabi mengerti bahwa perempuan tadi salah mengerti terhadap perkataan beliau, maka beliau memerintahkan kepada para sahabat (yang kebetulan ada waktu itu):

“ Beritahukanlah olehmu pada perempuan itu, sesungguhnya ia tidak akan masuk surga, karena ia seorang perempuan tua, karena Allah berfirman: bahwa sanya Kami menjadikan mereka (para perempuan) itu dengan kejadian yang baru ; maka Kami menjadikan mereka itu gadis-gadis remaja putri, berkasih-kasihan dengan suami serta bersamaan usia”





Rasulullah adalah seorang yang bersifat ramah, sewaktu-waktu ia bersenda gurau dengan orang disekelilingnya, akan tetapi senda gurau Rasulullah adalah, tidak hanya sekedar melucu yang menyebabkan pendengarnya tertawa terbahak bahak, melainkan dalam senda gurau itu terdapat pesan-pesan kebenaran sebagai mana sabdanya “ bahwasanya aku, sekalipun suka bersenda gurau dengan kamu, tetapi aku tidak akan berkata melainkan yang benar” (HR. Turmuzi dari Abi Hurairah ra.)


Biasanya para raja dan para pemimpin besar yang sangat dihormati dan disegani orang banyak, tidaklah meraka suka tertawa dan bergura dengan rakyat atau orang yang di bawah pimpinannya, karena untuk menjaga kehormatan dan kehebatannya, tetapi Nabi Muhammad SAW. sebagai pemimpin umat yang hakiki, tidaklah demikian, beliau tidak khawatir akan hilangnya kehormatan dan kehebatan dirinya lantaran tertawa dan senda gurau itu. Bahkan senda gurau yang bersih, yang benar, yang pantas dan yang sopan itu menambahkan keeratan perhubungan beliau dengan para sahabatnya.[9]






e. Pergaulan Nabi Muhammad SAW.


Nabi Muhammad SAW. adalah manusia ideal yang patut dijadikan teladan dalam segala hal. Sebagai seorang pemimpin ia tidak pernah menyombongkan diri walaupun kepada orang yang lebih rendah darinya. Dalam pergaulan, Nabi Muhammad SAW. tidak pernah membedakan orang lain dari kedudukannya, ia memberikan penghormatan kepada semua orang, ia menghargai pendapat semua orang, ia bebicara lemah lembut kepada semua orang, baginya kemuliaan orang itu hanya akan dibedakan dihadapan Allah SWT.

Dalam pergaulan dengan orang lain, Nabi Muhammad SAW. tidak pernah mengucapkan perkataan-perkataan yang kurang sedap didengar dan mungkin menyinggung perasaan orang lain. Seperti diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim dari Anas ibn Malik ra., ia berkata:


“ Aku melayani Rasulullah SAW., dalam waktu sepuluh tahun, demi Allah sekali kali beliau belum pernah berkata kepadaku :”uff” dan tidak pula beliau pernah berkata kepadaku yang ku kerjakan; “mengapa kamu mengerjakan demikian dan mengapa kamu tidak mengerjakan demikian?”






Hadis di atas sebagai bukti bahwa Rasulullah SAW. tidak pernah menyakiti orang lain dengan perkataannya, sekalipun kepada orang yang lebih rendah daripadanya, Anas ibn Malik merasa sangat tersanjung, karena Rasulullah SAW. tidak pernah mencela pekerjaannya.





2. Mendidik dengan Targhib dan Tarhib


Kata targhib berasal dari kata kerja ragghaba yang berarti; menyenangi, menyukai dan mencintai, kemudian kata itu diubah menjadi kata benda targhib yang mengandung makna “:suatu harapan untuk memperoleh kesenangan, kecintaan dan kebahagiaan. Semua itu dimunculkan dalam bentuk janji-janji berupa keindahan dan kebahagiaan yang dapat merangsang/mendorong seseorang sehingga timbul harapan dan semangat untuk memperolehnya. Secara psikologi, cara itu akan menimbulkan daya tarik yang kuat untuk menggapainya. Sedangkan istilah tarhib berasal dari kata rahhaba yang berarti; menakut nakuti atau mengancam. Lalu kata itu diubah menjadi kata benda tarhib yang berarti; ancaman hukuman.


Untuk kedua istilah itu, Al-Nahlawi mendefinisikan bahwa yang dimaksud dengan targhib adalah janji yang disertai dengan bujukan yang membuat senang terhadap suatu yang maslahat, terhadap kenikmatan atau kesenangan akhirat yang baik dan pasti serta suka kepada kebersihan dari segala kotoran, yang kemudian diteruskan dengan melakukan amal saleh dan menjauhi kenikmatan selintas yang mengandung bahaya dan perbuatan buruk. Sementara tarhib ialah suatu ancaman atau siksaan sebagai akibat melakukan dosa atau kesalahan yang dilarang Allah SWT., atau akibat lengah dalam menjalankan kewajiban yang diperintahkan Allah SWT.


Nabi Muhammad SAW. dalam rangka menyampaikan pendidikan kepada masyarakat terkadang dengan ungkapan yang bersifat pemberian rangsangan (targhib) atau dengan ungkapan-ungkapan yang bersifat ancaman (tarhib), kedua sifat ungkapan ini dilakukan oleh Rasulullah SAW. semata-mata sebagai sebuah strategi, agar pesan-pesan pendidikan dapat sampai kepada obyek pendidikan.


Beberapa bentuk dari targhib dan tarhib yang dilakukan oleh Rasulullah SAW. antara lain adalah :


a. Bentuk-bentuk Targhib (rangsangan)


1) Rangsangan untuk mau menolong antar sesama


Hadis riwayat Muslim dari Abu Qatadah ;


“ Barang siapa yang ingin diselamatkan Allah dari kesulitan kesulitan hari kiamat, maka hendaklah dia meringankan beban orang yang susah, atau mengapus utangnya”.






2) Rangsangan agar mau selalu beribadah


Hadis riwayat Imam Ahmad, Muslim, Tirmizi, Nasa’i dan Ibnu Majah dari Tsauban dan Abu Darda.


“ hendaklah kamu banyak sujud kepada Allah, sebab tidaklah kamu sujud satu kali sujud kepada Allah, kecuali Allah mengangkatmu satu derajat dan menghapusnya dari kamu satu kesalahan”





3) Rangsangan untuk bersikap sabar


Hadis riwayat Imam Ahmad, Muslim, Tirmizi dari Abu Hurairah


“ Sederhanalah dan berlaku luruslah, maka di dalam setiap musibah yang menimpa seseorang muslim adalah kafarah (penebus dosa) sampai kepada sebuah petaka yang menimpanya atau sebuah duri yang menusuknya”






4) Rangsangan untuk beramal kebaikan


Hadis riwayat Bukhari dari Ma’qal ibn Yassar ra.

“ Barang siapa menyingkirkan duri dari jalan dituliskan kebaikan baginya dan barang siapa diterima daripadanya suatu kebaikan niscaya dia masuk surga”






5) Rangsangan untuk selalu bekerja keras


Hadis riwayat Imam Ahmad dan Thabrany dari Abu Darda ra.

“ Barang siapa menanam bibit tanaman (sekalipun) yang tidak dimakan oleh manusia dan tidak pula oleh makhluk Allah melainkan Allah menuliskan sedekah untuknya”


Dari beberapa ucapan Rasulullah SAW. di atas, sangat terlihat usaha Rasulullah SAW. untuk dapat membangkitkan semangat berbuat kebaikan bagi setiap manusia.





b. Bentuk-bentuk Tarhib (ancaman)


1) Ancaman bagi orang yang sombong


“Bukan golongan kami orang yang tidak menyayangi yang kecil dan tidak menghormati yang besar”






2) Ancaman bagi orang yang bersumpah palsu


Hadis riwayat Imam Ahmad dari Ahnaf ibn Qais ra.


“ Sesungguhnya tidalah seorang hamba atau seorang laki-laki memotong (mengambil) harta orang lain dengan sumpahnya, melainkan dia akan menemui Allah nanti pada hari yang dia menemuiNya dalam keadaan terpotong (cacat tubuhnya)”.





3) Ancaman bagi yang memfitnah


Hadis riwayat Buhari Muslim dari Hudzaifah ra.


“ Tidak akan masuk sorga seorang yang memfitnah (mengadu-adu)”






4) Ancaman bagi yang berlaku zalim


Hadis riwayat Abd ibn Humaid dari Sa’id al-Khudri ra.


“ Wahai manusia, taqwalah kalian kepada Allah, demi Allah tidaklah seorang mukmin berlaku zalim kepada mukmin yang lain, melainkan Allah akan menyiksanya pada hari kiamat.


Ucapan-ucapan Rasulullah SAW. di atas menggambarkan, betapa Rasulullah SAW. berusaha untuk menyampaikan pesan-pesan pendidikan dengan berbagai cara salah satunya adalah dengan ancaman. Metode dengan ancaman perlu dilakukan, mengingat bahwa manusia memiliki tingkat kesadaran yang berbeda-beda. Ada orang yang sudah tersadarkan dan mau berbuat hanya dengan sebuah nasihat, tetapi ada tipe orang yang tidak bisa tersadarkan dan tidak mau berbuat sesuatu kecuali setelah ia memperoleh rangsangan (motivasi) atau memperoleh ancaman.




3. Mendidik dengan Perumpamaan (Amtsal)


Perumpamaan dilakukan oleh Rasulullah SAW. sebagai salah satu strategi pembelajaran untuk memberikan pemahaman kepada obyek sasaran materi pendidikan semudah mungkin, sehingga kandungan maksud dari suatu materi pelajaran dapat dicerna dengan baik, strategi ini dilakukan dengan cara menyerupakan sesuatu dengan sesuatu yang lain, mendekatkan sesuatu yang abstrak dengan yang lebih konkrit.

Perumpamaan yang digunakan oleh Rasulullah SAW. sebagai salah satu strategi pembelajaran selalu syarat dengan makna sehinga benar-benar dapat membawa sesuatu yang abstrak kepada yang konkrit atau menjadikan sesuatu yang masih samar dalam makna menjadi sesuatu yang sangat jelas.

Beberapa contoh pendidikan Rasulullah SAW. yang menggunakan perumpamaan sebagai salah satu strateginya, antara lain sebagai berikut :

a. Perumpamaan orang bakhil dan dermawan


Hadis riwayat Bukhari Muslim dari Abu Hurairah ra.

“Rasulullah SAW. telah memberikan contoh perumpamaan orang yang bakhil dan orang dermawan, bagaikan dua orang yang memakai jubah (baju) besi yang berat bagian tangan ke teteknya dan tulang bahunya, maka yang dermawan tiap ia bersedekah makin melebar bajunya itu sehingga dapat menutupi hingga ujung jari kakinya dan menutupi bekas-bekas kakinya, sedang si bakhil jika ingin sedekah mengkerut dan tiap pergelangan makin seret dan tidak berubah dari tempatnya. Abu Hurairah berkata; Saya telah melihat Nabi SAW. ketika mencontohkan dengan tangannya keadaan bajunya dan andaikan ia ingin meluaskannya tidak dapat”


b. Perumpamaan orang yang suka memberi dan suka meminta


Hadis riwayat Bukhari Muslim dari Abdullah ibn Umar ra.


“ Ketika Nabi berkhutbah di atas mimbar dan menyebut sedekah dan minta-minta, maka bersabda; Tangan yang di atas lebih baik dari tangan yang di bawah, tangan yang di atas itu yang memberi dan yang di bawah yang meminta”

c. Perumpamaan Kawan baik dan jelek


Hadis riwayat Bukhari Muslim dari Abu Musa ra.


“Perumpamaan duduk dengan orang baik-baik dibandingkan dengan duduk beserta orang-orang, bagaikan pemilik kasturi dengan dapur tukang besi; Engkau tidak akan lepas dari pemilik kasturi , adakalanya engkau membeli kasturi itu atau sekurang-kurangnya mencium baunya. Sedangkan dapur tukang besi membakar tubuhmu atau sekurang-kurangnya engkau mencium bau busuk”

Ketika Rasulullah SAW. memperagakan dengan baju yang dikenakannya untuk mengumpamakan antara orang dermawan dengan orang yang bakhil akan sangat mudah dipahami oleh orang yang mendengar dan melihat, karena perumpamaannya sangat konkrit (sudah dikenal), pesan ini tentu saja diarahkan agar manusia menjadi orang dermawan, karena dengan sifat dermawan itulah Allah SWT. akan memberikan balasan, sebaliknya sifat bakhil hanya akan mempercepat kemiskinan.

Dalam memberikan pendidikan untuk mengarahkan agar manusia senantiasa berteman dengan orang-orang yang shalih, Rasulullah mengumpamakan bahwa bergaul dengan orang shalih bagaikan orang yang membawa minyak kasturi, artinya selalu wangi (orang yang bergaul dengan orang yang shalih akan terbawa nama baiknya) dan akan timbul sifat saling memberi dan menolong. Sedangkan orang yang jahat diumpamakan dengan pandai besi (jika tidak mempengaruhi kejahatannya paling tidak akan terbawa dengan identitas jeleknya).

Tidak dapat dipungkiri bahwa tidak semua orang dapat melakukan analisa seperti yang dilakukan oleh Najib Khalid di atas, karena kemampuan orang dalam menangkap pesan-pesan sangat tergantung kepada kecerdasannya, akan tetapi tanpa melakukan analisa seperti yang dilakukan Najib Khalid sekalipun perumpamaan yang diberikan oleh Rasulullah SAW. sangat bisa dipahami oleh umat manusia walaupun hanya garis besarnya saja.

Perumpamaan-perumpamaan yang diberikan oleh Rasulullah SAW. jika dimaknai dengan kesungguhan akan banyak ditemukan kandung hikmah yang sangat dalam, sehingga kalimat-kalimat singkat dan sederhana yang disampaikan oleh Rasulullah SAW. tersebut mengandung banyak makna tetapi dapat dicerna dengan baik oleh siapapun yang mendengarkannya.





4. Mendidik dengan Nasihat


Nabi Muhammad SAW. sering sekali kedatangan masyarakat dari berbagai kalangan, mereka datang kepada Nabi Muhammad SAW. khusus untuk meminta nasihat tentang berbagai hal, siapa saja yang datang untuk meminta nasihat kepada Rasulullah SAW., beliau selalu memberikan nasihat sesuai dengan permintaan, selanjutnya nasihat tersebut dijadikan pegangan dan landasan dalam kehidupan mereka.

Dari banyak peristiwa tentang pemberian nasihat Nabi Muhammad SAW. kepada yang meminta nasihat (seperti tersebar dalam beberapa buku Hadis), penulis kemukakan beberapa contoh pembelajaran Nabi melalui nasihat antara lain sebagai berikut :

a. Nasihat tentang menjaga amanat


Hadis riwayat Bukhari , Abu Dawud, Al-Tirmizi dari Abu Hurairah

“ Tunaikan amanat itu untuk orang yang memberi kepercayaan kepadamu dan jangan engkau khianat terhadap orang yang telah berkhianat kepadamu “


Amanat adalah hak yang wajib dipelihara dan disampaikan kepada yang berhak menerimanya, memelihara amanat buah dari iman, jika iman berkurang, berkurang juga amanat, menunaikan amanat hukumnya wajib. Sebaliknya khianat hukumnya haram sekalipun terhadap yang mengkhianati kita, hal ini menunjukan bahwa kita terlarang bekerjasama dengan cara saling mengkhianati.[10] Betapa Rasulullah SAW. memperhatikan persoalan amanah ini, hingga dalam kesempatan lain beliau bersabda yang menegaskan bahwa orang yang tidak melaksanakan amanah dengan benar termasuk salah satu ciri orang munafiq.

b. Nasihat tentang memelihara ucapan


Hadis riwayat Ibnu Asakir dari Sha’sha’ah ibn Najiyah ra.

“Kendalikanlah lidahmu“


Nasihat ini diberikan kepada Haris, ketika Haris bertanya perihal yang dapat memeliharanya, lalu Nabi menjawab seperti bunyi Hadis di atas.[11] Lidah atau ucapan jika tidak dikendalikan dengan baik bisa menjadi masalah dalam kehidupan seseorang, sehingga hal ini termasuk yang sangat diperhatikan oleh Rasulullah SAW. dalam Hadis yang lain Rasulullah SAW. berpesan, jika kita tidak dapat berkata-kata yang bermanfaat lebih baik diam. Artinya, hendaklah setiap perkataan yang keluar dari mulut seseorang dapat bermanfaat bagi dirinya maupun orang lain, sehingga dengan perkataannya itu ia terpelihara, sebaliknya orang akan celaka jika tidak mampu menguasai lidahnya, sepeti kata seorang bijak “lidahmu adalah harimaumu yang sewaktu-waktu siap menerkam dirimu sendiri”

c. Nasihat tentang kesadaran akan dosa


Hadis riwayat al-Turmuzi dari Uqbah ibn Amir


“Kuasailah lidahmu, lapangkanlah rumahmu, dan menangislah atas kesalahanmu”


Nasihat ini diberikan oleh Rasulullah SAW. kepada Uqbah ibn Amir ketika ia bertanya tentang arti keselamatan, lalu Nabi Muhammad SAW. menjawab seperti Hadis di atas. Menguasai lidah berarti mengendalikannya sehingga tidak membawa kepada kecelakaan, menjauhi fitnah dan menangis penuh penyesalan karena dosa yang dilakukan, karena Allah SWT. menyukai orang-orang yang bertaubat.[12]


Banyak di antara manusia yang bisa berubah perilakunya dari yang kurang baik kepada prilaku yang lebih baik hanya karena ia mendengarkan nasihat, apalagi nasihat tersebut ia minta niscaya akan benar-benar dipedomani. Jika diamanati nasihat-nasihat Rasulullah SAW. di atas sangat pendek dan ringkas namun menunjukan kelugasan, sehingga penerima nasihat tidak perlu menafsirkan ucapan-ucapan Rasulullah SAW. tersebut. Kalimatnya pendek namun jelas tertuju kepada suatu masalah, seperti masalah pentingnya menjaga amanat, masalah bagaimana berbicara yang baik, masalah budi pekerti, masalah penyadaran akan dosa-dosa, semua disampaikan oleh Rasulullah SAW. dengan tidak bertele-tele.





5. Mendidik dengan cara memukul


Dalam hal tertentu, khususnya untuk membiasakan mengerjakan shalat bagi setiap muslim sejak dini, Rasulullah SAW. menganjurkan kepada setiap orang tua untuk menyuruh (dengan kata-kata) kepada setiap anaknya, ketika mereka berusia tujuh tahun agar mau melaksanakan ibadah shalat, selanjutnya Rasulullah SAW. menganjurkan jika anak pada usia sepuluh tahun belum mau melaksanakan shalat maka pukullah ia.

Perintah memukul ini mengandung makna yang sangat dalam, mengingat Rasulullah SAW. sendiri dalam kontek pendidikan, tidak pernah memukul (dengan tangan) selama hidupnya. Perintah ini hanyalah menunjukan ketegasan Rasulullah SAW. untuk menanamkan kebiasaan positif yang harus dimulai sejak anak-anak. Hadis riwayat Ahmad dan Abu Daud dari Amir ibn Syuaib dari ayahnya dari kakeknya berkata ;

“Perintahkanlah anak-anakmu mengerjakan shalat di kala mereka berumur tujuh tahun, dan pukullah mereka karena mereka tidak mengerjakannya di kala mereka berumur 10 tahun dan pisahkanlah tempat tidurnya”


Memukul dalam hal ini tidak dilandasi oleh emosional dan kemarahan, tetapi sebaliknya memukul dalam konteks Hadis di atas harus dilandasi dengan kasih sayang, keikhlasan dan dengan tujuan semata-mata karena Allah SWT. Dalam peristiwa yang lain (bukan dalam hal shalat) Rasulullah SAW. bersabda; bahwa sebaiknya pukulan itu dilakukan tidak berkali-kali, bahkan cukup satu kali saja. Hadis riwayat Bukhari dari Anas ibn Malik ra.

“ … Sesungguhnya kesabaran itu ketika pukulan pertama”





Rasulullah SAW. sangat berhati-hati dalam setiap perkataannya, sehingga setiap orang yang mendengarkan sabdanya tidak salah dalam menafsirkan, dalam persoalan “memukul” Rasulullah SAW. membedakan antara pukulan dengan maksud pendidikan shalat (seperti Hadis di atas) dengan pukulan pada hukuman yang memang seharusnya dilakukan, seperti bunyi Hadis berikut ini. Hadis riwayat Bukhari Muslim dari Abu Burdah ra., bahwa Nabi bersabda


“Tidak boleh dipukul dari sepuluh kali kecuali dalam had yang telah ditentukan hukum had oleh Allah SWT.”


Rasulullah SAW. tidak bermaksud “memukul” untuk menyakiti, karenanya beliau tidak memperkenankan memukul di bagian-bagian vital seperti muka, kepala dan dada. Sikap Rasulullah SAW. ini terbukti ketika dalam sebuah peristiwa perang terjadi perkelahian yang saling memukul muka (pipi), Rasulullah SAW. sangat khawatir dengan pemandangan itu kemudian bersabda :

“Apakah kau biarkan tangannya dimulutmu dan kau pecahkan dia seperti memecahkan kepala binatang” (H.R. al-Thahawi dan ‘Atha dari Shafwan ibn Ya’la ibn Umayah)

Dari uraian di atas, dapatlah disimpulkan bahwa perintah “memukul” hanya dalam masalah shalat, hal ini menggambarkan bahwa shalat adalah salah satu ibadah yang paling pokok dan tidak boleh diabaikan seperti juga sabda beliau bahwa “Shalat itu merupakan tiang agama, barang siapa yang telah medirikan shalat maka ia telah mendirikan agama dan barang siapa yang meninggalkan shalat maka ia telah menghancurkan agama”, di sisi lain hal ini juga menggambarkan ketegasan Rasulullah SAW. dalam menerapkan kebiasaan beribadah sejak dini.

Dari beberapa ucapan Rasulullah SAW. berkenaan dengan “memukul”, dapat juga dimaknai bahwa sesungguhnya Rasulullah SAW. tidak menghendaki pemukulan itu terjadi pada diri anak, ucapan ini hanyalah merupakan ancaman, karena dalam konteks pendidikan ada tipe anak yang memerlukan ancaman agar dapat melaksanakan perintah tentang kebenaran. Rasulullah SAW. adalah sosok manusia yang tegas dalam kata-kata dan lembut dalam perbuatan, walaupun ia menyuruh memukul, di sisi lain tidak ditemukan bukti-bukti bahwa Rasulullah SAW. pernah melakukan pemukulan terhadap peserta didiknya. Bukti-bukti yang ada justru menerangkan betapa Rasulullah SAW. memiliki perilaku yang lemah lembut dan dengan cara-cara yang baik dalam menyampaikan ajaran-ajaran Islam. Jangankan pemukulan yang melukai, menyinggung perasaan dengan kata-kata saja beliau tidak pernah melakukannya.





Penutup


Islam memandang bahwa segala fenomena alam ini adalah hasil ciptaan Allah dan sekaligus tunduk kepada hukum hukumNya, oleh karena itu manusia harus dididik agar mampu menghayati dan mengamalkan nilai-nilai dalam hukum Allah tersebut. Manusia harus mampu mengorientasikan hidupnya kepada kekuatan atau kekuasaan yang berada di balik ciptaan alam raya serta mengaktualisasikan hukum – hukum Allah melalui tingkah laku dalam kegiatan hidupnya.

Sebagai agama rahmatan lil ‘alamin, Islam mengandung prinsip-prinsip moralitas yang memandang manusia sebagai pribadi yang mampu melaksanakan nilai-nilai moral agama dalam hidupnya. Oleh karena dengan tanpa nilai-nilai tersebut kehidupannya akan menyimpang dari fitrah Allah yang mengandung nilai Islam yaitu doktrin Islam itu sendiri yang harus dijadikan dasar dari proses pendidikan yang berlangsung sepanjang hayat. Jadi dengan demikian pola dasar yang membentuk dan mewarnai sistem pendidikan Islam adalah pemikiran konseptual yang berorientasi kepada nilai-nilai keimanan, nilai-nilai kemanusiaan, serta nilai-nilai moral (akhlak) yang secara terpadu membentuk dan mewarnai tujuan pendidikan Islam, sedangkan usaha pencapaian tujuan pendidikan sesuai dengan pola dasar tersebut berlangsung dalam satu strategi pendidikan Islam.








DAFTAR PUSTAKA





Ad-Damsyiqi, Al-Hanafi, Ibnu Hamzah Al-Husaini, Asbab al-Wurud, Jakarta: Kalam Mulia, 2003

Anwar, Qomari Pendidikan Sebagai Karakter Budaya Bangsa, Jakarta: Uhamka Press, 2003

Chalil, Moenawar, Kelengkapan Tarikh Nabi Muhammad SAW., Jakarta: PT. Bulan Bintang, 1994

Gulen, M. Fethullah, Versi Teladan: Kehidupan Rasulullah Muhammad SAW. (Terj.), Jakarta: PT. Rosda Karya, 2002.

M. Arifin, Ilmu Pendidikan Islam, Jakarta: Bumi Aksara, 1996

Nata, Abudin, Filsafat Pendidikan Islam, Jakarta: PT. Logos Wacana Ilmu, 2001

Zuhairimi, Sejarah pendidikan Islam, Jakarta: Bumi Aksara, 1997






* Penulis adalah dosen FAI Uhamka

[1] Qomari Anwar, Pendidikan Sebagai Karakter Budaya Bangsa, Jakarta: UHAMKA Press, 2003, h. 42

[2] M. Arifin, Ilmu Pendidikan Islam, Jakarta: Bumi Aksara, 1996, h. 61

[3]Abudin Nata, Filsafat Pendidikan Islam, Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 2001, h. 91






[4] Arifin, op. cit. h. 197

[5] Ibid. h. 199

[6] Zuhairimi, Sejarah Pendidikan Islam, Jakarta: BUmi Aksara, 1997, h. 18

[7] M. Fathullah Gulen, Versi Teladan: Kehidupan Rasulullah Muhammad SAW., Jakarta: Rosda Karya, 2002, h. 197


[8] Gulen, Ibid. 311

[9] Munawar Chalil, Kelengkapan Tarikh Nabi Muhammad SAW., Jakarta: Bulan Bintang, 1994, h. 49

[10] Ibn Hamzah al-Husaini al-Hanafi al-Damsyiqi, Asbab al-Wurud, Jakarta: Kalam Mulia, 2003, h. 69

[11] Al-Damsyiqi, Ibid., h. 379


[12] Al-Damsyiqi, Ibid., h. 378


Metode Pendidikan Rosulullah


Oleh : Arif Firmansyah

Era globalisasi seakan tidak bisa dibendung lajunya memasuki setiap sudut negara dan menjadi sebuah keniscayaan. Era ini menghendaki setiap negara beserta individunya harus mampu bersaing satu sama lain baik antar negara maupun antar individu. Persaingan yang menjadi esensi dari globalisasi tak jarang memiliki pengaruh dan dampak yang negatif pula jika dicermati dengan seksama. Pengaruh yang ada dari globalisasi pada aspek kehidupan meskipun awal tujuannya diarahkan pada bidang ekonomi dan perdagangan serta memberikan dampak multidimensi. Globalisasi memang menjadi lokomotif perubahan tata dunia yang tentu saja akan menarik gerbong-gerbongnya yang berisi budaya, pemikiran maupun materi.Bidang pendidikan pun juga tidak luput dari efek yang ditimbulkan dari globalisasi. Isu yang digulirkan untuk pendidikan adalah kompetensi bagi setiap individu yang terlibat dalam proses pendidikan maupun keunggulan kompetitif yang harus dimiliki oleh institusi pendidikan. Jika dilihat sekilas, muatan nilai yang terdapat dalam agenda globalisasi nampak universal dan tidak memiliki dampak negatif. Namun jika ditelaah standard kompetensi dan keunggulan kompetitif yang seperti apa inilah yang perlu dicermati dengan seksama.

Faktanya, standard tersebut tampak di permukaan ditentukan oleh dunia internasional melalui lembaga internasional semacam UNESCO atau yang sejenis dan menjadi sebuah kesepakatan dunia, akan tetapi ada sisi gelap yang belum terkuak yaitu pihak perumus standard tersebut adalah negara Eropa dan Amerika. Bagi kalangan masyarakat awam, kedua kawasan (Eropa dan Amerika) tersebut masih relevan menjadi kiblat peradaban modern dan mapan. Dikatakan demikian karena penampakan yang ada dan diopinikan dengan sistematis bahwa Amerika dan Eropa telah berhasil menjadi negara yang unggul dibandingkan negara lainnya dan menampakkan gambaran kesejahteran dan kemakmuran yang dirasakan oleh setiap orang yang berada di kawasan tersebut.

Pandangan akan kemilau keberhasilan Amerika dan Eropa membangun peradaban modernnya yang didalamnya juga terdapat pola pendidikan diasumsikan terbaik tidak hanya bagi masyarakat awam. Negara-negara di dunia ketiga yang notabene banyak diantaranya adalah negeri-negeri muslim silau dengan keberhasilan pendidikan di kedua kawasan tersebut dan menjadikannya benchmark / patokan untuk pengembangan pendidikan di negaranya masing-masing.

Perlu diketahui bersama, sisi gelap dalam pola pendidikan yang dirumuskan oleh Amerika dan Eropa yaitu tidak adanya muatan nilai ruhiyah, dan lebih mengedepankan logika materialisme serta memisahkan antara agama dengan kehidupan yang dalam hal ini sering disebut paham Sekulerisme. Implikasi yang bisa dirasakan namun jarang disadari adalah adanya degradasi moral yang dialami oleh anak bangsa. Banyak kasus buruk dunia pendidikan yang mencuat di permukaan dimuat oleh beberapa media massa cukup meresahkan semua pihak yang peduli terhadap masa depan pendidikan bangsa yang lebih baik.

Ambillah contoh, baru-baru ini seluruh pelajar SMA di Indonesia melangsungkan Ujian Akhir Nasional. Standard kelulusan yang ditetapkan Mendiknas tiap tahunnya dinaikkan mulai dari 3,00 pada tahun 2003 hingga 5,25 pada 2008 ini. Penetapan standard ini sebagai implementasi penyetaraan kompetensi pelajar Indonesia dengan pelajar Internasional. Tapi di tataran praktik, banyak terjadi fenomena paradoks dan fakta yang ironis. Seperti anak yang dikenal pintar ternyata tidak lulus UAN dengan berbagai alasan, belum lagi variasi kecurangan selama UAN berlangsung yang ternyata tidak dominasi pelajar tapi juga sampai pada jajaran guru dan sekolah untuk mengelabui dan mengejar standard kelulusan.(JawaPos, 23/04/2008)

Juga, Indonesia diketahui sebagai negara pada urutan ketujuh dunia sebagai negara pengakses situs-situs porno. Lebih jauh lagi, dibahas didalamnya ternyata sebagai pengakses situs porno dari Indonesia dari kalangan pelajar. Prosentase terbesar diduduki oleh pelajar SMA sejumlah 38% diikuti oleh mahasiswa sebesar 33,6% dan ternyata dari kalangan siswa SMP juga menjadi pengakses situs porno17,3% sisanya sebesar 11% ditempati oleh masyarakat non pelajar.

Kasus parah lainnya yang tampak sebagai indikator degradasi moral dalam pandangan umum adalah tawuran yang sering dilakukan di kalangan pelajar ternyata juga merambah di kalangan mahasiswa. Padahal jika memandang secara idealnya, seharusnya semakin tinggi jenjang pendidikan yang dilalui oleh anak didik semestinya yang bersangkutan mengedepankan etika dan logika-rasional akademisi. Maksudnya mahasiswa sebagai insan pendidikan yang menjalani jenjang tertinggi tidak seharusnya terbawa emosi sehingga berujung pada tawuran. Peristiwa yang sering terjadi di kota Jakarta, maupun Makassar, Medan, Palu itu yang tampak, mungkin akan banyak lagi yang belum terjangkau liputan media massa sehingga tidak tampak di permukaan.

Beberapa contoh kasus diatas merupakan efek negatif dari pola pendidikan yang diadopsi Indonesia dari negara acuannya yaitu Eropa dan Amerika. Dikatakan berefek negatif karena ditinjau secara kebijakan makro, pendidikan Barat tidak lepas dari kerangka berpikir pada ideologi kapitalisme. Padahal sudah banyak dikupas habis banyaknya kelemahan dan keburukan pada ideology kapitalisme sebagai buah tangan manusia. Sedangkan jika ditinjau secara mikro, permasalahan tidak adanya link and match antara materi yang didapatkan di bangku sekolah dengan realitas yang ada di lapangan. Sehingga anak didik sering mengalami kebingungan sesuai menyelesaikan masa studi dan mulai memasuki masyarakat. Lulusan institusi pendidikan belum sempat menentukan langkah sudah tenggelam dengan hiruk pikuknya tata kehidupan materialistik.

Selain itu, esensi materi pendidikan yang distandardisasi (baca : ditiru) dari Barat bermuatan budaya dan pemikiran yang tidak sesuai dengan syari’at Islam. Indikasi yang bisa dijumpai, masih diajarkannya teori evolusi Darwin tanpa diimbangi dengan pemahaman Islam terhadapnya. Hukum kekekalan massa pada fisika yang juga semestinya dinilai secara kritis dalam pandangan Islam oleh gurunya. Belum lagi pelajaran yang berkaitan dengan sosial-ekonomi yang bisa dikatakan sekitar 85% tidak sesuai dengan Syari’at Islam. Ditambah lagi mata pelajaran agama yang diajarkan di sekolah maupun pendidikan tinggi cuma +2 jam dalam seminggu. Itupun materi ajarnya ‘menjenuhkan’ artinya dari mulai Sekolah Dasar hingga Pendidikan Tinggi pembahasannya berputar permasalahan ibadah mahdloh seputar thoharoh, sholat dan shuam. Sedangkan permasalahan interaksi manusia (muamalat) hampir tidak ada sama sekali.

Derasnya serangan tsaqofah Barat seperti sikap hedonistik dengan implikasinya berupa gaya hidup hura-hura, konsumeristik, rakus, boros, cinta mode, pergaulan bebas, individualistik, kebebasan yang salah arah dan lepas kendali serta tampilan pada anak didik sebagai generasi permisif dan anarkis yang telah disebutkan diatas secara eksplisit wujudnya. Serangan tersebut berakibat pada pengaruh dan peran pendidik umat (guru) menurun drastic sehingga pendidik umat secara perlahan-lahan kehilangan kewibawaan dan keteladanan di tengah-tengah anak didik.

Akhirnya kita dihadapkan pada perkara inti yaitu bagaimana gambaran pola pendidikan Islam ? bagaimana pula sosok pendidik umat yang dibutuhkan untuk membangun kepribadian Islam pada anak didik kaum muslimin?. Pertanyaan ini akan mudah untuk dijawab jika kita memiliki pedoman yang jelas dan kembali pada Al-Qur’an dan Sunnah serta ber-azzam (bertekad kuat) untuk menggali dan mengeksplorasi khazanah Islam sebagai fundamendal pendidikan generasi muda yang handal. Karena sungguh didalam Al-Qur’an Sunnah telah dijelaskan dengan mendalam segala aspek kehidupan termasuk aspek pendidikan. Maka dari itu penulis mencoba akan menguraikan pada penjelasan berikut ini.

ARAH DAN PILAR PENDIDIKAN ISLAM

Kerusakan yang lama ada pada pola pendidikan di negara Barat sepatutnya ditinggalkan oleh kaum muslimin. Kerusakan tersebut timbul dikarenakan tidak adanya muatan ruhiyah dalam penelitian dan pengembangan sains dan teknologinya. Sehingga dampak yang bisa dirasakan, pola pendidikan tersebut menghasilkan output berpikir dan bersikap berdasarkan pada prinsip materialisme dengan menanggalkan prinsip syari’at Islam. Dari sinilah problem sosial kemasyarakatan muncul dan kerusakan tatanan kehidupan. sebagaimana telah disitir dalam ayat berikut ini

“ Telah nyata kerusakan didaratan dan dilautan oleh karena tangan – tangan manusia “. (Ar- Rum : 41).

Segala urusan dunia jika solusinya diserahkan pada hasil pemikiran manusia tanpa melibatkan hukum-hukum Allah didalamnya, maka solusi tersebut tidak bisa menuntaskan masalah. Sehingga yang terjadi adalah fenomena tambal sulam ataupun gali lubang, tutup lubang atas masalah yang ada. Maka dari itu jika ingin menyelesaikan masalah tanpa masalah termasuk pendidikan harus berujung pangkal pada Islam.

Islam diturunkan Allah SWT melalui Rasulullah Muhammad tidak sekadar melakukan perbaikan akhlaq. Namun lebih jauh lagi, turunnya Islam menjadi penyempurna dari semua agama yang ada dan memuat semua tata aturan kehidupan secara paripurna. Islam menjelaskan aturan mulai dari masuk kamar mandi hingga masuk parlemen, mulai dari menegakkan sholat hingga menegakkan Negara Islam. Demikian pula, Islam menjelaskan secara total bagaimana kaidah pendidikan sesuai dengan Khitab As-Syaari’. Jadi sangat disayangkan jika kaum muslimin berpaling dari Islam malah meniru total pendidikan ala Barat karena silau dengan kemajuannya.

“Hai orang-orang yang beriman, masuklah kamu ke dalam Islam keseluruhan, dan janganlah kamu turut langkah-langkah syaitan. Sesungguhnya syaitan itu musuh yang nyata bagimu.” (Al-Baqoroh : 208)

“Dan tidaklah patut bagi laki-laki yang mukmin dan tidak (pula) bagi perempuan yang mukmin, apabila Allah dan Rasul-Nya telah menetapkan suatu ketetapan, akan ada bagi mereka pilihan (yang lain) tentang urusan mereka. dan Barangsiapa mendurhakai Allah dan Rasul-Nya Maka sungguhlah Dia telah sesat, sesat yang nyata”(QS.Al-Ahzab : 36)

“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengambil orang-orang kafir menjadi wali dengan meninggalkan orang-orang mukmin. Inginkah kamu mengadakan alasan yang nyata bagi Allah (untuk menyiksamu)?” (QS.An-Nisa’: )

Sepanjang sejarah dunia, Islam telah terbukti mampu membangun peradaban manusia yang khas dan mampu menjadi pencerah serta penerang hampir seluruh dunia dari masa-masa kegelapan dan kejayaannya +13 abad lamanya. Factor paling menentukan atas kegemilangan Islam membangun peradaban dunia adalah keimanan dan keilmuannya. Tidak ada pemisahan ataupun dikotomi atas kedua factor tersebut dalam pola pendidikan yang diterapkan. Sehingga generasi yang dihasilkan juga tidak diragukan kehandalannya hingga kini.

Sebut saja tokoh Ibnu Sina sebagai sosok yang dikenal peletak dasar ilmu kedokteran dunia namun beliau juga faqih ad-diin terutama dalam hal ushul fiqh. Masih ada tokoh-tokoh dunia dengan perannya yang penting dan masih menjadi acuan perkembangan sains dan teknologi berasal dari kaum muslimin yaitu Ibnu Khaldun(bapak ekonomi), Ibnu Khawarizm (bapak matematika), Ibnu Batutah (bapak geografi), Al-Khazini dan Al-Biruni (Bapak Fisika), Al-Battani (Bapak Astronomi), Jabir bin Hayyan (Bapak Kimia), Ibnu Al-Bairar al-Nabati (bapak Biologi) dan masih banyak lagi lainnya. Mereka dikenal tidak sekadar paham terhadap sains dan teknologi namun diakui kepakarannya pula di bidang ilmu diniyyah.

Kalau begitu pola pendidikan seperti apa yang mampu mencetak generasi islam berkualitas sekaliber tokoh-tokoh dunia tersebut? Penting kiranya menyatukan persepsi tentang pendidikan sesuai kaidah Syara’. Hakekat pendidikan adalah proses manusia untuk menjadi sempurna yang diridhoi Allah SWT. Hakikat tersebut menunjukkan pendidikan sebagai proses menuju kesempurnaan dan bukannya puncak kesempurnaan, sebab puncak kesempurnaan itu hanyalah ada pada Allah dan kemaksuman Rasulullah SAW. Karena itu, keberhasilan pendidikan hanya bisa dinilai dengan standar pencapaian kesempurnaan manusia pada tingkat yang paling maksimal. Setelah diketahui hakikat pendidikan maka berikutnya bisa dirumuskan tujuan dari pendidikan Islam yang diinginkan yaitu :

Membangun kepribadian islami yang terdiri dari pola piker dan pola jiwa bagi umat yaitu dengan cara menanamkan tsaqofah Islam berupa Aqidah, pemikiran, dan perilaku Islami kedalam akal dan jiwa anak didik. Karenanya harus disusun dan dilaksanakan kurikulum oleh Negara.

Mempersiapkan generasi Islam untuk menjadi orang ‘alim dan faqih di setiap aspek kehidupan, baik ilmu diniyah (Ijtihad, Fiqh, Peradilan, dll) maupun ilmu terapan dari sains dan teknologi (kimia, fisika, kedokteran, dll). Sehingga output yang didapatkan mampu menjawab setiap perubahan dan tantangan zaman dengan berbekal ilmu yang berimbang baik diniyah maupun madiyah-nya.

Kedua tujuan dari pola pendidikan Islam bisa terlaksana jika ditopang dengan pilar yang akan menjaga keberlangsungan dari pendidikan Islam tersebut. Pilar penopang pendidikan Islam yang dibutuhkan untuk bekerja sinergis terdiri dari :

Keluarga

Dalam pandangan Islam, keluarga merupakan gerbang utama dan pertama yang membukakan pengetahuan atas segala sesuatu yang dipahami oleh anak-anak. Keluarga-lah yang memiliki andil besar dalam menanamkan prinsip-prinsip keimanan yang kokoh sebagai dasar bagi si anak untuk menjalani aktivitas hidupnya. Berikutnya, mengantarkan dan mendampingi anak meraih dan mengamalkan ilmu setingggi-tingginya dalam koridor taqwa. Jadi keluarga harus menyadari memiliki beban tanggung jawab yang pertama untuk membentuk pola akal dan jiwa yang Islami bagi anak. Singkatnya, keluarga sebagai cermin keteladanan bagi generasi baru. Sebagaimana Rasulullah SAW bersabda :



كلّ مولود يولد على الفطرة فأبواه يهودانه أو ينصّرانه أو يمجّسانه

“Setiap anak dilahirkan atas fitrah. Maka kedua orangtuanyalah yang menjadikan anak itu beragama Yahudi, Nasrani, atau Majusi.” (HR. Bukhari)

رضى الرّبّ في رضى الوالدوسخط الرّبّ في سخط الولد

“Ridho Tuhan terletak pada ridho orang tua, demikian juga kemurkaan Tuhan terletak pada kemurkaan orang tua.” (HR.Al-Bukhori no.6521)

Masyarakat

Pendidikan generasi merupakan aktivitas yang berkelanjutan tanpa akhir dan sepanjang hayat manusia. Oleh karena itu, pola pendidikan Islam tidak berhenti dan terbatas pada pendidikan formal (sekolah), namun justru pendidikan generasi Islami yang bersifat non formal di tengah masyarakat harus beratmosfer Islam pula. Kajian tsaqofah islam serta ilmu pengetahuan dan sarana penunjangnya menuntut peran aktif dari masyarakat pula. Ada beberapa peran yang bisa dimainkan masyarakat sebagai pilar penopang pendidikan generasi islami yaitu sebagai control penyelenggaraan pendidikan oleh negara dan laboratorium permasalahan kehidupan yang kompleks.

خذاالحكمة ممن سمعتموها فانه قديقول الحكمة غير الحكيم وتكون الرمية من غير رام

“Ambillah hikmah yang kamu dengan dari siapa saja, sebab hikmah itu kadang-kadang diucapkan oleh seseorang yang bukan ahli hikmah. Bukankah ada lemparan yang mengenai sasaran tanpa disengaja?” (HR. Al-Askari dari Anas ra dalam kitab Kashful Khafa’ Jilid II, h.62))

العلم ضالة المؤمن حيث وجده أخذه

Hikmah laksana hak milik seorag mukmin yang hilang. Dimanapun ia mejumpainya, disana ia mengambilnya (HR. Al-Askari dari Anas ra)

Madrasah

Tempat untuk mengkaji keilmuan lebih intensif dan sistematis terletak pada Madrasah. Semasa Rasulullah SAW, masjid-masjid yang didirikan kaum muslimin menjadi lembaga pendidikan formal bagi semua manusia. Didalamnya tidak semata-mata membahas ilmu diniyah, namun juga ilmu terapan. Rasulullah menjadikan masjid untuk menyampaikan ajaran-ajaran Islam, tapi penyusunan strategi perang pun juga seringkali dilakukan oleh Rasulullah SAW bersama para sahabat didalam masjid. Sedangkan dimasa modern saat ini pendidikan bisa dialihkan yang semula masjid ke tempat dengan fasilitas yang menunjang dalam proses pembelajaran lebih efektif baik itu sekolah maupun perguruan tinggi. Hal ini sah-sah saja dan tidak bisa dianggap sebagai upaya memisahkan anak didik dari masjid.

Peradaban Islam mengalami puncak kegemilangan pada saat Bani Abbasiyah memegang tampuk kekuasaan dalam system pemerintah Khilafah Islamiyah. Sepanjang pemerintahan Khilafah Abbasiyah, perhatian sangat besar diberikan pada pengembangan ilmu pengetahuan dengan pola pendidikan islami. Sejarah mencatat berdirinya Bait Al-Hikmah sebagai madrasah dengan jenjang pendidikannya yang sistematis. Bait Al-Hikmah dibangun oleh Khalifah Al-Ma’mun yang dikenal sebagai khalifah pencinta ilmu pengetahuan. Dari Bait Al-Hikmah inilah lahir tokoh-tokoh muslim ternama yang telah disebutkan sebelumnya. Juga Bait Al-Hikmah lah menjadi mercusuar ilmu pengetahuan yang didatangi oleh semua orang dari segala penjuru dunia termasuk Barat. Dan munculnya Renaissance di Eropa terjadi setelah banyak orang Eropa menggali ilmu pengetahuan dari bait Al-Hikmah.

Sistematika pendidikan islam yang bisa diterapkan dalam madrasah dikelompokkan secara berjenjang (marhalah) yang harus memperhatikan fakta anak didik di setiap tingkatan. Tentunya bobot yang diberikan disetiap tingkatan memiliki komposisi yang berbeda namun proporsional. Sedangkan keberhasilan sistematika pendidikan islami yang ada pada madrasah tergantung pada para tenaga pendidiknya. Perkembangan sikap dan pemahaman yang terdapat pada anak didik merupakan tanggung jawab terbesar pada para tenaga pendidik. Lebih dari itu, syakhsiyah Islamiyah yang dicita-citakan pada anak didik menjadi sempurna apabila para tenaga pendidiknya lebih dahulu memiliki syakhsiyah islamiyah tersebut dan mampu meningkatkan secara berkelanjutan. Madrasah meletakkan harapan besar kepada para tenaga pendidik untuk memberikan proses yang tidak sekadar transfer of knowledge tapi juga cultivate of spirit and value. Maka dari itu arti guru yaitu digugu dan ditiru benar-benar bisa terlaksana dan terjaga dengan baik.

Negara

Negara sebagai pilar penopang bisa mewujudkan pola pendidikan Islami akan lebih optimal, efektif dan sempurna jika didukung dengan semua kebijakan yang dikeluarkan terhadap aspek kehidupan ini berlandaskan syari’at Islam. Peran yang bisa diambil oleh Negara dalam mewujudkan pola pendidikan Islami diantaranya :

Menyusun kurikulum berdasarkan aqidah islam untuk semua institusi pendidikan (sekolah dan perguruan tinggi). Filterisasi terhadap paham-paham sesat dan menyesatkan bisa dijalankan melalui standar kurikulum Islami. Sehingga harapannya tidak lagi masuk di materi sekolah tentang teori Darwin, ekonomi ribawi, serta filsafat liberal-sekuler dan lainnya yang tidak sesuai dengan Aqidah Islam.

Seleksi dan kontrol ketat terhadap para tenaga pendidik. Penetapan kualifikasi berupa ketinggian syakhsiyah islamiyah dan kapabilitas mengajar. Jika sudah didapatkan tenaga pendidikan yang sesuai kualifikasi, negara harus menjamin kesejahteraan hidup para tenaga pendidik agar mereka bisa focus dalam penelitian dan pengembangan ilmu bagi anak didik dan tidak disibukkan aktivitas mencari penghasilan tambahan untuk memenuhi kebutuhan hidup.

Menyajikan content pendidikan dengan prinsip al Fikru lil Amal (Link and Match / ilmu yang bisa diamalkan). Artinya jangan sampai isi materi pendidikan tidak membumi (tidak bisa diterapkan) sehingga tidak berpengaruh dan tidak memotivasi anak didin untuk mendalaminya.

Tidak membatasi proses pendidikan dengan batasan usia dan lamanya belajar. Karena hakekat pendidikan adalah hak setiap manusia yang harus dipenuhi oleh Negara. Allah mengamanahkan penguasa negara untuk benar-benar memenuhi kebutuhan umat tanpa syarat termasuk pendidikan.

الامام راع وهو مسؤول عن رعيته

“Seorang imam (pemimpin) adalah bagaikan penggembala, dan ia akan diminta pertanggungjawaban atas gembalaannya.” (HR. Ahmad, Syaikhan, Tirmidzi, Abu Dawud, dari Ibnu Umar)

PERAN PENDIDIK DALAM ISLAMIC CHARACTER BUILDING


Rasulullah SAW selaku penyampai risala Islam yang mulia merupakan cerminan yang komprehensif untuk mencapai kesempurnaan sikap, prilaku, dan pola pikir. Bahkan sayyidah ‘Aisyah tatkala ditanya oleh beberapa sahabat mengenai pribadi Rasulullah SAW menyebutkan bahwa Rasulullah itu adalah Al-Qur’an berjalan. Artinya semua kaidah kehidupan yang ditetapkan islam melalui Al-Qur’an semuanya contoh sudah terdapat dan dijumpai dalam diri Rasulullah SAW. Beliau bukan hanya menjadi seorang nabi, tapi juga kepala negara. Beliau tidak cuma sekadar bapak tapi juga guru dengan teladan yang baik. Allah SWT sendiri telah memuji keluhuran pribadi Rasulullah SAW dalam ayat-NyA: “Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari kiamat dan Dia banyak menyebut Allah.” (QS.Al-Ahzab : 21)

Jaminan mardhatillah akan didapatkan oleh setiap orang yang bersungguh-sungguh menggali dan meneladani kepribadian Rasulullah. Selain itu jaminan keselamatan dan syafa’at saat hari kiamat akan diberikan Rasulullah. Jadi tidak ada keraguan lagi dan tidak akan memilih cara lain termasuk dalam menerapkan pola pendidikan selain yang diajarkan oleh Rasulullah SAW.

Sosok Rasulullah SAW yang menjadi pendidik sukses bisa diakui tidak cuma kalangan dunia Islam namun juga dari komentar yang diberikan oleh kalangan Barat seperti Robert L. Gullick Jr. dalam bukunya Muhammad, The Educator menyatakan: “Muhammad merupakan seorang pendidik yang membimbing manusia menuju kemerdekaan dan kebahagiaan yang lebih besar. Tidak dapat dibantah lagi bahwa Muhammad sungguh telah melahirkan ketertiban dan stabilitas yang mendorong perkembangan Islam, suatu revolusi sejati yang memiliki tempo yang tidak tertandingi dan gairah yang menantang… Hanya konsep pendidikan yang paling dangkallah yang berani menolak keabsahan meletakkan Muhammad diantara pendidik-pendidik besar sepanjang masa, karena -dari sudut pragmatis- seorang yang mengangkat perilaku manusia adalah seorang pangeran di antara pendidik”. Selain itu Michael Hart dalam bukunya 100 tokoh dunia meletakkan Rasulullah Muhammad di posisi pertama sebagai sosok paling berhasil dan tak tergantikan oleh sosok lainnya berkaitan dengan memimpin dan mendidik umat dalam kurun waktu singkat sehingga terwujud kehidupan yang mulia.

Wujud pendidik umat yang mampu membangun generasi islami dengan ciri yang melekat padanya berupa pola pikir dan pola jiwa yang islami sebagaimana dicontohkan oleh Rasulullah bisa ditinjau dari sifat seorang pendidik serta strategi pendidikan yang dimiliki pendidik. Jika kedua hal ini dipahami dengan benar dan diimplementasikan dengan istiqomah, niscaya generasi islami akan terwujud. Sifat Rasulullah memang yang paling khas adalah Shiddiq, Fathonah, Tabligh, dan Amanah. Namun secara spesifik untuk seorang pendidik, bisa dijumpai sifat yang dicontohkan Rasulullah SAW berikut ini :

Kasih Sayang. Wajib dimiliki oleh setiap pendidik sehingga proses pembelajaran yang diberikan menyentuh hingga ke relung kalbu. Implikasi dari sifat ini adalah pendidik menolak untuk tidak suka meringankan beban orang yang dididik.

“Muhammad itu adalah utusan Allah dan orang-orang yang bersama dengan Dia adalah keras terhadap orang-orang kafir, tetapi berkasih sayang sesama mereka…” (QS.Al-Fath : 29)

Sabar. Bekal yang dibutuhkan untuk menjadi seorang pendidik yang sukses. Keragaman sikap dan kemampuan memahami yang dimiliki oleh anak didik menjadi tantangan bagi pendidik. Terutama bagi anak didik yang lamban dalam memahami materi dibutuhkan kesabaran yang lebih dari pendidik untuk terus mencari cara agar si anak didik bisa setara pemahamannya dengan yang lainnya.

“Hai orang-orang yang beriman, Jadikanlah sabar dan shalat sebagai penolongmu, Sesungguhnya Allah beserta orang-orang yang sabar” (QS.Al-Baqoroh : 153).

Cerdas. Seorang pendidik harus mampu menganalisis setiap masalah yang muncul dan memberikan solusi yang tepat untuk mengembangkan anak didiknya merupakan wujud dari sifat cerdas. Kecerdasan yang dibutuhkan tidak cuma intelektual namun juga emosional dan spiritual.

Tawadhu’. Pantang bagi seorang pendidik memiliki sifat arogan (sombong) meski itu kepada anak didiknya. Rasulullah mencontohkan sifat tawadhu’ kepada siapa saja baik kepada yang tua maupun yang lebih muda dari beliau. Sehingga tidak ada jarang yang renggang antara pendidik dengan anak didik dan akan memudahkan pembelajaran dan memperkuat pengaruh baik pendidik kepada anak didik karena penghormatan.29. Muhammad itu adalah utusan Allah dan orang-orang yang bersama dengan Dia adalah keras terhadap orang-orang kafir, tetapi berkasih sayang sesama mereka. kamu Lihat mereka ruku’ dan sujud mencari karunia Allah dan keridhaan-Nya, tanda-tanda mereka tampak pada muka mereka dari bekas sujud[1406]. Demikianlah sifat-sifat mereka dalam Taurat dan sifat-sifat mereka dalam Injil, Yaitu seperti tanaman yang mengeluarkan tunasnya Maka tunas itu menjadikan tanaman itu kuat lalu menjadi besarlah Dia dan tegak Lurus di atas pokoknya; tanaman itu menyenangkan hati penanam-penanamnya karena Allah hendak menjengkelkan hati orang-orang kafir (dengan kekuatan orang-orang mukmin). Allah menjanjikan kepada orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal yang saleh di antara mereka ampunan dan pahala yang besar.

عن أنس بن مالك رض الله عنه مرّ صبيانٍ فسلّم عليهم وقال كان النبيّ صلى الله عيه وسلّم يفعله(HR.Bukhori)

Bijaksana. Seorang pendidik umat tidak boleh mudah terpengaruh dengan kesalahan bahkan oleh keburukan yang dihadapinya dengan bijaksana dan lapang dada sehingga akan mempermudah baginya memecahkan sebab-sebab permasalahan tersebut

Pemberi Maaf. Anak didik yang ditangani oleh pendidik umat tentunya tidak luput dari kesalahan maupun sikap-sikap yang tidak terpuji lainnya. Maka dari itu pendidik umat dituntut untuk mudah memberikan maaf meskipun ada sanksi yang diberikan kepada anak didik yang menjadi pelaku kesalahan sebagai bagian dari edukasi.

Kepribadian yang Kuat. Sanksi bisa jadi tidak diperlukan dalam mengedukasi anak didik jika seorang pendidik umat memiliki kepribadian yang kuat (kewibawaan, tidak cacat moral, dan tidak diragukan kemampuannya) sehingga memunculkan apresiasi dari anak didik, bukannya apriori. Sehingga secara otomatis bisa mencegah terjadinya banyak kesalahan dan mampu menanamkan keyakinan dalam diri anak

Yakin terhadap Tugas Pendidikan. Rasulullah dalam menjalankan tugas mengedukasi umat selalu optimis dan penuh keyakinan terhadap tugas yang diembannya. Patutlah jika pendidik umat juga memiliki sifat ini yaitu yakin usaha sampai, karena Allah SWT akan mempercepat pemberian terhadap manusia yang memiilki keyakinan tinggi terhadap keberhasilan setiap tugas yang dilakukan. Sesuai dengan hadits Qudsi bahwa Allah sesuai dengan prasangka hamba-Nya.

Sifat-sifat diatas menjadi bekal dan support bagi pendidik umat untuk berhasil dalam mengimplementasikan strategi yang disusunnya. Rasulullah sebagai pendidik memiliki strategi pendidikan yang penting diketahui. Strategi tersebut terdiri dari metode, aksi, dan teknik yang diperlukan dalam mendapatkan hasil yang maksimal untuk pendidikan islami. Metode yang dilakukan Rasulullah meliputi :

Spiritual-Mentality Building. Rasulullah meletakkan pondasi mental berlandaskan aqidah yang kuat terhadap kaum muslimin semasa itu. Karena jika pendidikan tidak dimulai dari dalam diri, maka apapun manifestasi pendidikan tersebut hanyalah manipulatiif. Pembentukan mental islam yang kuat akan menghindarkan anak didik dari penyakit hati seperti benci, dengki, buruk sangka, sombong, bohong, pesimis, dsb. Jika seseorang telah mampu mengeliminasi penyakit hati, maka orang tersebut berpotensi besar untuk sukses.

Applicable. Allah SWT tidak pernah memerintahkan keimanan kecuali disertai dengan tindakan nyata. Maka berawal dari kenyataan ini, Rasulullah SWT melakukan penguatan pengetahuan teoritis dengan aplikasi praktis. Sebab akan bisa didapatkan manfaat hakiki yang lahir dari aplikasi praktis terhadap pengetahuan teoritis tersebut.

“Orang-orang yang beriman dan beramal saleh, bagi mereka kebahagiaan dan tempat kembali yang baik” (QS.Ar-Ra’d : 29)

Balance in Capacity. Artinya sebagai seorang pendidik yang dicontohkan oleh Rasulullah SAW adalah memberikan penugasan dan menjelaskan sesuatu sesuai dengan kemampuan dan pemahaman yang dimiliki oleh anak didik. Karena, tugas yang berlebihan akan menyebabkan seorang pendidik tersebut dijauhi dan tugasnya pun akan ditinggalkan. Metode ini sesuai dengan hadits Rasulullah

فاذا أمرتكم بشيء فاتوامنه مااستطعتم

“jika aku memerintahkan sesuatu kepada kalian, maka tunaikanlah sesuai dengan kemampuan kalian (yang paling maksimal). (HR.Muslim no. 1307)



ما انت بمحدّث قوم حديثًا لاتبلغه عقولهم إلاّكان لبعضهم فتنةً

“ Kamu sekali-kali janganlah memberi penjelasan kepada suatu kaum, penjelasan yang tidak bisa dijangkau oleh akan mereka, kecuali ia akan menjadi fitnah bagi sebagian diantara mereka.”(HR.Muslim)

Right Treatment for Diversity. Pendidikan Islami memerlukan tindakan tepat terhadap keragaman anak didik. Keragaman tersebut bisa diklasifikasi berdasarkan demografi. Rasulullah memberi perlakuan berbeda dalam mendidik antara pria dengan wanita, antara orang badui dengan orang kota, antara orang yang baru masuk islam dengan yang sudah lama memeluk islam. Sehingga jika tepat dalam memberi perlakuan terhadap keragaman anak didik, apa yang disebut adil akan terwujud dari pendidik kepada anak didik.

Priority & Thing First Thing. Kemampuan untuk membuat prioritas dan memilah yang terpenting daripada yang penting sangat diperlukan untuk dimiliki oleh pendidik. Prioritas dan mendahulukan hal terpenting dalam proses pendidikan islami berarti menanamkan kebiasaan kepada anak didik bertindak efektif dan efisien. Efektif artinya melakukan sesuatu yang benar sedangkan efisien berarti melakukan sesuatu dengan benar.

إغتنم خمسًا قبل خمس حياتك قبل موتك وصحّتك قبل سقمك وفراغك قبل شغلك وشبابك قبل هرمك وغناك قبل فقرك

“Manfaatkan lima perkara sebelum (datang) lima perkara : masa hidupmu sebelum (datang) matimu, masa sehatmu sebelum (datang) masa sakitmu, masa senggangmu sebelum (datang) masa sempitmu, masa mudamu sebelum (datang) masa tuamu, dan masa kayamu sebelum (datang) masa miskinmu.” (GR. Tirmidzi)

Good Advice for Good Time. Pendidik umat harus mampu memberikan konseling kepada anak didik yang sedang dilanda masalah ataupun berbuat kesalahan fatal tanpa disadarinya. Ada yang perlu diperhatikan dalam pemberian nasehat/advice kepada anak didik yaitu kuantitas dan timing. Kuantitas maksudnya nasihat yang diberikan tidak banyak namun terkontrol dalam pelaksanaan pada anak didiknya. Jika terjadi pengabaian pada nasihat pertama, maka bisa kemudian diberi nasehat yang selanjutnya dan lebih berbobot. Lantas, mengenai waktu/timing penyampaian nasihat harus tepat. Pemilihan waktu yang tepat saat memberikan nasehat akan memberikan dampak perubahan yang luar biasa kepada anak didik.

Achievement Motivation.Motivasi berprestasi penting artinya dimasukkan dalam proses pendidikan islami karena mengandung dorongan positif yang kuat dari dalam diri manusia berefek pada sikap dan tindakannya mengarah pada hal yang positif pula. Sehingga kebajikan lebih dominan dan mampu melenyapkan keburukan sesuai dengan ayat Al-Qur’an :

“….Sesungguhnya perbuatan-perbuatan yang baik itu menghapuskan (dosa) perbuatan-perbuatan yang buruk..”.(QS.Huud:114)

Coercive and Reward.Sanksi dan Penghargaan bisa dianggap sebagai upaya memotivasi anak didik. Ada kalanya anak didik berbuat baik karena takut dihukum dan ada yang memang menginginkan mendapat pujian dari gurunya. Sedangkan Rasulullah SAW mencontohkan mengedepankan penghargaan ketimbang sanksi karena Allah SWT mengutamakan menerima karena suka daripada karena takut. Menerima karena suka akan memunculkan kerinduan untuk melakukan apa yang diperintahkan dengan lapang dada.

Self-Evaluation. Rasulullah mengajarkan kepada kaum muslimin waktu itu dalam metode pendidikan yang beliau jalankan adalah evaluasi diri (muhasabah). Anak didik yang selalu diajak untuk melakukan evaluasi diri dalam keterlibatannya pada proses pendidikan islami akan memacu diri anak didik untuk melakukan perbaikan sehingga akan didapatkan peningkatan performance (kinerja) yang lebih baik lagi.

Sustainable Transfer.Pendidikan islami merupakan pembentukan diri dan prilaku yang tidak bisa didapatkan dalam waktu sekejap. Butuh kesinambungan proses baik transfer maupun control terhadap hasilnya. Proses pendidikan yang dilakukan oleh Rasulullah juga berjalan dalam jangka waktu yang tidak singkat. Waktu 13 tahun dihabiskan selama di Makkah dan dilanjutkan di Madinah di sisa usia beliau hingga kembali ke haribaan tidak pernah berhenti untuk terus dan terus mendidik umat.

Penjelasan singkat mengenai keteladanan Rasulullah SAW bagi pendidik umat bisa menjadi bekal untuk melakukan perbaikan mutu sikap dan pikir anak didik sesuai dengan syari’at Islam. Sebenarnya masih sangat luas sekali-hingga tak terhitung jumlahnya-,keteladanan yang diberikan Rasulullah SAW. Tapi sekali lagi, jika kita mau dan bertekad keras untuk memulai dari yang sedikit dulu namun istiqomah dan ada peningkatan bertahap kelak kemudian hari dari apa-apa yang telah dicontohkan Rasulullah, insya Allah akan menghasilkan kualitas anak didik yang tidak diragukan lagi kehandalannya.

KHATIMAH

Pembangunan dan pembentukan generasi islam berkualitas sebagaimana para sahabat, tabi’in, tabi’in-tabi’at dan ulama-ulama kenamaan merupakan bukti keberhasilan pola pendidikan islami. Generasi islam dinilai berkualitas apabila terbentuk pola pikir dan pola jiwa berlandaskan pada aqidah Islam yang kuat sehingga mampu mengintegrasikan keimanan dan kompetensi pada diri anak didik. Pola pendidikan islami sudah ada semenjak Rasulullah SAW hidup dan beliaulah yang meletakkan pondasinya dengan banyak keteladanan yang bisa diambil. Dengan dihasilkannya generasi islami juga akan didapati peradaban mulia seperti yang sudah tercatat dalam sejarah dunia tentang kegemilangan peradaban islam mengubah dunia dari kegelapan menuju pencerahan hakiki. Pendidikan islami mampu membuktikan janji Allah SWT dengan munculnya umat terbaik sesuai dengan ayat al-Qur’an :

Kamu adalah umat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada yang ma’ruf, dan mencegah dari yang munkar, dan beriman kepada Allah. Sekiranya ahli kitab beriman, tentulah itu lebih baik bagi mereka, di antara mereka ada yang beriman, dan kebanyakan mereka adalah orang-orang yang fasik.(QS. Ali Imron : 110)

خير كم قرني ثمّالذين يلونهم ثمّ الذين يلونهم ثمّ الذين يلونهم

“Sesungguhnya yang terbaik dari kalangan kamu ialah sezaman denganku, kemudian orang yang hidup selepas zaman aku, setelah itu orang yang hidup selepas mereka”. (HR. Al-Bukhori no. 1496)

DAFTAR PUSTAKA

Abdurrahman, Hafidz., Membangun Kepribadian Pendidik Umat, WADI Press, 2008Ahmed, Shabir., Anas Abdul Muntaqim., Abdul Satar., Islam dan Ilmu Pengetahuan, Penerbit Al-Izzah, 1999

Al-Baghdadi, Abdurrahman., Sistem Pendidikan di Masa Khilafah Islam, Penerbit Al-Izzah, 1996

Asari, Hasan., Menyingkap Zaman Keemasan Islam : Kajian Atas Lembaga-Lembaga Pendidikan, Mizan, 1994

Hizbut Tahrir Indonesia, Membangun Generasi Berkualitas Dengan Perspektif Islam, 2003

Hizbut Tahrir Indonesia, Generasi Cerdas, Generasi Peduli Bangsa : Solusi Tuntas Krisis Kepemimpinan, Proceedings Lokakarya Pendidikan Nasional, Jakarta, 2004

Lukman, H. Fahmy. Syariat Islam dalam Kebijakan Pendidikan, www.icmimuda.org, 2006

Yasin, Abu., Strategi Pendidikan Negara Khilafah, Pustaka Thariqul Izzah, 2004

Metode Pengajaran dalam Sistem Pendidikan Islam
Posted by Silmi
February 21, 2009


Dalam proses belajar mengajar, metode yang digunakan adalah dengan mentransfer pemikiran. Pemikiran yang dimaksudkan di sini bukanlah sekedar mentransfer informasi atau pengetahuan. Tetapi yang dimaksud dengan pemikiran adalah kemampuan untuk menyerap fakta dengan menggunakan alat indra yang dimiliki ke dalam otak, yang kemudian oleh otak diinterpretasikan sesuai dengan informasi yang terkait, dan akhirnya bisa ditetapkan hukum/ status atas fakta tersebut.

Dalam proses pengajaran, harus terdapat timbal balik antara penyampaian dan penerimaan pemikiran dari pengajar kepada pelajar. Oleh karena itu, seorang pengajar/ guru ketika mentransfer pemikiran dan pengetahuan yang dia miliki kepada siswa harus memperhatikan segala aspek yang melingkupi, termasuk bahasa yang dia gunakan hendaknya disesuaikan dengan kapasitas berpikir siswanya.

Bahasa memang instrumen yang paling penting dalam mentransfer pemikiran, baik itu pemikiran yang berhubungan dengan pandangan hidup ataupun tidak. Secara umum bahasa memiliki tiga fungsi strategis ;(1) bahasa sebagai media pembelajaran segala mata pelajaran di sekolah, (2) bahasa sebagai pentransfer alat berpikir, dan (3) bahasa sebagai alat komunikasi. Dan dalam pendidikan yang bertujuan untuk meningkatkan kualitas berpikir, menyiapkan siswa agar mampu bersosialisasi dan berkomunikasi secara fungsional dalam lingkungannya, dan mengambil peran di dalamnya, tentu penguasaan bahasa merupakan dasar bagi keberhasilan pendidikan sebagai proses maupun pendidikan sebagai hasil. Oleh karena itu, penguasaan bahasa diperlukan oleh setiap pengajar. Dan jika itu berkaitan dengan pengetahuan (bukan sastra), hendaknya pengajar menyampaikan pemikiran dalam bahasa yang memiliki makna-makna jelas yang bisa dipahami anak, bukan metafora.

Selain itu, penting ketika mentransfer pemikiran, pengajar mendekatkan materi pelajaran yang dia ajarkan dengan realitas. Bahkan lebih dari itu, seorang pengajar hendaknya mendorong peserta didiknya untuk selalu peka terhadap realitas yang terjadi. Sehingga pemikiran yang terbentuk nantinya adalah pemikiran-pemikiran yang bersandar pada kenyataan(baik kenyataan itu bisa diindra secara langsung ataupun dengan sesuatu yang bisa ditunjukkan dengan indra). Dengan kata lain, pemikiran itu aplikatif/ bisa dimanfaatkan dalam kehidupan sehari-hari, bukan khayali.

Pola dan Strategi Pendidikan Islam | September 5, 2008

Judul buku: Mendidik Ala Rasulullah
Penulis: Dr. Abdul Hamid Al Hasyimi
Penerbit: Pustaka Azzam
Tebal: 326 halaman



Peran guru, setelah orangtua, cukup besar pengaruhnya dalam pembentukan kepribadian anak. Untuk mencetak generasi unggul yang siap pakai menghadapi tantangan zaman, kepia­waian seorang guru untuk mengasah potensi yang terpendam dalam diri anak sangat diperlukan. Karena tanpa motivasi dan arahan yang tepat, anak tidak akan pernah berkembang menjadi manusia yang sempurna.

Banyak metode yang bisa ditempuh untuk mencapai keber­hasilan pendidikan. Namun yang paling mendasar ialah adanya ikatan psikologis antara dua kutub (pendidik dan pelajar) dalam berinteraksi. Sehingga terjadi kesamaan visi dan kerjasama untuk membangun kebiasaan yang baik. Seorang guru musti cermat membaca kondisi fisik, psikologis, dan kemampuan daya nalar anak didiknya.

Dalam proses belajar‑mengajar kadangkala ada saja anak didik yang berkelakuan menyakitkan hati. Disinilah diperlukan sikap lapang dada dari sang guru untuk memaafkan dan melupakan kejelekan yang diperbuat muridnya. Sebab, kesabaran merupakan penghulu akhlak manusia, terutama untuk mencapai perbaikan. Ketenangan serta kelembutan merupakan langkah yang aman dalam proses pembersihan kalbu.

Demikian Allah berfirman: “Maka disebabkan rahmat dari Allah hendaklah kamu berlaku lemah‑lembut terhadap mereka. Sekiranya kamu bersikap keras lagi berhati kasar, tentu mereka akan menjauh dari sekelilingmu. Karena itu, maafkan­lah mereka, mohonkanlah ampun bagi mereka, dan bermusyawarah dengan mereka dalam urusan dimaksud. Kemudian apabila kamu telah berbulat tekad, maka bertawakal kepada Allah. Sesungguhnya Allah menyukai orang‑orang yang bertawakal kepada‑Nya (QS. Ali Imran: 159).

Disamping itu, seorang pendidik seyogianya jeli melihat kelemahan dan kelebihan masing‑masing anak asuhnya. Sehingga ia tidak akan membebankan bahan pelajaran diluar batas kemampuan muridnya.

Perbedaan potensi itu sebetulnya mengandung beberapa hikmah. Pertama, mengokohkan kekuasaan Sang Khalik. Bahwa semenjak penciptaan Adam as sampai sekarang tak ada manusia yang sama perwatakan maupun fisiknya. Hal ini menandaskan betapa kreatif dan agungnya Allah SWT. Kedua, kelebihan seseorang di bidang tertentu biasanya disertai kelemahan di sisi lain. Kenyataan ini membuktikan bahwa manusia itu tidak ada yang sempurna. Sehingga di antara satu dengan lainnya terjalin rasa saling membutuhkan.

Pemahaman tersebut secara tidak langsung akan mendorong anak didik untuk tidak memusatkan perhatian pada titik kelemahan dirinya, melainkan justru memperkuat potensi (bakat) yang dimilikinya.

Lalu siapakah yang bertanggung‑jawab untuk menggali aset yang terpendam dalam diri anak itu?

Terutama tentu saja orangtua. Mereka hendaknya lebih dulu mengetahui bakat yang ada pada anaknya. Sebab selagi masih kecil seorang anak benar‑benar jujur dalam mengungkapkan perasaannya. Gerak maupun ekpresi wajahnya merupakan sinyal yang mewakili keinginannya. Pada saat itulah orangtua hendaknya memberi arahan. Disinilah pentingnya keteladanan. Karena anak akan mencontoh apa yang dilihat dan didengarnya. Pada usia dini anak akan mudah menyerap apa yang diajarkan.

Berikutnya, adalah tanggung jawab sekolah untuk menyem­purnakan pendidikan. Karena guru punya kemampuan khusus untuk mengasah lebih seksama bakat yang dimiliki anak. Disinilah anak mendapat pengajaran yang lebih intensif.

Dalam bukunya yang berjudul Mendidik Ala Rasululllah ini, Abdul Hamid Al Hasjimi banyak menawarkan alternatif seputar metode dan media yang digunakan dalam pendidikan Islam. Termasuk cerita dan kelakar juga dapat dijadikan sarana pemicu bagi anak untuk menyerap berbagai pelajaran.

Lebih jauh, agar pendidikan islam berhasil optimal ada beberapa hal yang perlu digaris‑bawahi bersama.

Pertama, perhatian pendidikan Islam hendaknya bersifat transparan dan menghindari fanatisme buta.

Kedua, concern terhadap pemikiran global. Untuk mengko­munikasi pemikiran Islam ke wilayah yang lebih luas bisa melalui diskusi, penerbitan buku, observasi, penyelenggaraan pertemuan ilmiah maupun muktamar serta pendirian lembaga‑ lembaga atau insitusi pengajaran.

Ketiga, hasil pendidikan yang diharapkan tidak bisa dirasakan secara tergesa‑gesa. Pendidikan psikologi dan perkembangan anak tidak dapat diukur berdasarkan hitungan jam, hari, bulan dan tahun. Paling tidak untuk mencari bentuk Islami dari pendidikan modern dibutuhkan waktu satu generasi.

Keempat, yang terpenting ialah memelihara aqidah umat Islam, sejarah kemanusiaan dan warisan masyarakatnya, disertai dengan pemberian kebebasan secara luas untuk sesuatu yang berguna dan bermanfaat (hal: 122).

Untuk membangun psikologi umat Islam ke arah kemajuan, tak bisa tidak dibutuhkan semangat berkreasi dan berinovasi. Inilah langkah yang musti kita ambil dalam rangka mengejar berbagai ketertinggalan. aliansyah jumbawuya


Langkah Strategi Pengembangan Pendidikan Islam Di Era Globalisasi
Ada empat sterategi yang dapat diterapkan, strategi ini adalah:
1. Strategi substantive: lembaga pendidikan islam perlu menyajikan program-program yang koprehensip
2. Strategi bottom-up: berarti banyak lembaga Islam yang harus tumbuh dari bawah.
3. Strategi deregulatory: lembga pendidikan islam sedapat mungkin tidak tidak terlalu terikat pada ketentuan-ketentuan baku yang terlalu sentralistik dan mengikat.
4. Steategi coopertive: landasan pendidikan islam perlu mengembangkan jaringan kerjasama, baik antara sesama lembaga pendidikan Islam ataupun dengan yang lainnya.
Isu-Isu Pendidikan Islam Di Madrasah: tinjauan terhadap Strategi Peningkatan Mutu Madrasah Dalam Pentas Pendidikan Nasional.
Strategi pening mutu pada madrasah, maka dapat dilakukan dengan usaha sebagai berikut:
1. Akutantanbilitas proses
2. Profesionalisme
3. meningkatkan anggaran Biaya
4. Meningkatkan peranserta masyarakat
5. Evaluasi diri

METODE PENDIDIKAN ISLAM


Oleh H.Munadi Sutera Ali

A. Pendahuluan

Penyelenggaraan pendidikan di Sekolah dilihat dari segi materinya belum dapat berperan sepenuhnya sebagai sumber bagi pengembangan keilmuan peserta didik dan sebagai pedoman prilaku keseharian, manakala peserta didik mampu mengembangkan sosok pribadinya sebagai praktisi, profesionalis dan bahkan sebagai ilmuan, hal ini dapat dibuktikan dengan tidak dirasakan adanya link and match dengan mata pelajaran umum lainnya, ditambah lagi dengan masih mendominasinya pemberian materi yang dirasakan sebagai suatu kesan pengulangan dari materi pada jenjang dan tingkat sebelumnya, sehingga ajaran agama tidak diterima sebagai sesuatu yang hidup dan senantiasa dapat menjawab tantangan kehidupan di segala zaman.

Penyeimbangan aspek rasionalitas dan spritualitasnya, sehingga agama Islam dirasakan lengkap sebagai suatu ajaran yang dapat menjawab semua tantangan kehidupan, ini sangat erat kaitannya dengan Metodologi Pendidikan yang diterapkan.

Dalam makalah ini, akan dipaparkan beberapa metode alternatif dari beberapa tokoh pendidikan Islam, yang mungkin diterapkan dalam proses Pendidikan di sekolah.

B. Beberapa Metode Dalam Pendidikan

Para ahli pendidikan Islam seperti Muhammad Qurthb, 1 ‘Abdurrahman al-Nahlawi, 2 dan ‘Abdullah ‘Ulwan, 3 telah mengemukakan metode-metode pendidikan dalam Islam. Di antaranya yang terpenting ialah sebagai berikut :
Keteladanan

Pendidikan dengan teladan berarti pendidikan dengan memberi contoh, baik berupa tingkah laku, sifat, cara berfikir, dan sebagainya. Banyak ahli pendidikan yang berpendapat bahwa pendidikan dengan teladan merupakan metode yang paling berhasil guna. Hal itu karena dalam belajar, orang pada umumnya, lebih mudah menangkap yang konkrit ketimbang yang abstrak. ‘Abdullah ‘Ulwan, umpamanya, mengatakan bahwa pendidikan barangkali akan merasa mudah mengkomunikasikan pesannya secara lisan. Namun anak akan merasa kesulitan dalam memahami pesan itu apabila ia melihat pendidikannya tidak memberi contoh tentang pesan yang disampaikannya. 4

Didalam al-Qur’an terdapat banyak ayat yang menunjukkan kepentingan penggunaan teladan dalam pendidikan. Antara lain terlihat pada ayat-ayat yang mengemukakan pribadi-pribadi teladan seperti di bawah ini :

a. Pribadi Rasulullah saw :

Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagi kalian, (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmad) Allah dan (kedatangan) hari kiamat dan dia banyak menyebut Allah. (Q.S. al-Ahzab/33:21)


b. Pribadi Nabi Ibrahim as. Dan umatnya:

Sesungguhnya telah ada suri teladan yang baik bagi kalian pada Ibrahim dan orang-orang yang bersama dia…(Q.S al-Mumtahanah/60:4)

Sesungguhnya pada mereka itu (Ibrahim dan umatnya) ada teladan yang baik bagi kalian, (yaitu) bagi orang yang mengharap (pahala) Allah dan (keselamatan pada hari kemudian)….(Q.S al-Mumtahanah/60:60)


c. Orang-oarang yang mendapat petunjuk dari Allah dan ikhlas dalam berdakwah:

Mereka itulah orang-orang yang telah diberi petunjukoleh Allah, maka ikutilah petunjuk mereka. Katakanlah, “Aku tidak meminta upah kepadamu dalam menyampaikan (al-Qur’an). Al-Qur’an itu tidak lain hanyalah peringatan untuk segala umat. (Q.S al-An’am/6:90)


Kepentingan penggunaan keteladanan juga terlihat dari teguran Allah terhadap orang-orang yang menyampaikan pesan tetapi tidak mengamalkan pesan itu. Allah menjelaskan:

Hai orang-orang beriman, mengapa kamu mengatakan apa yang tidak kamu perbuat ? Amat besar kebencian di sisi Allah bahwa kamu mengatakan apa-apa yang tiada kamu kerjakan. (Q.S. al-Shaff/61:2-3)


Dalam psikologi, kepentingan penggunaan keteladanan sebagai metode pendidikan didasarkan atas adanya insting (gharizah) untuk beridentifikasi dalam diri setiap manusia, 5 yaitu dorongan untuk menjadi sama (identik) dengan tokoh identifikasi (identificand). 6 Robert R. Sears dan kawan-kawan mengartikan identifikasi sebagai berikut :

Identification is the name we choose to give to whatever process occurs when the child adopts the method of role practice, i,e., acts as though he were occupying another person’s role. (Identifikasi ialah nama yang kami pilih untuk menunjuk proses apa pun yang berlangsung ketika anak mengadopsi cara berperan, yaitu berlaku seakan-akan ia sedang melakukan peranan orang lain). 7


Identifikasi, menurut pengertian di atas, mencakup segala bentuk peniruan yang dilakukan seseorang terhadap tokoh identifikasinya. Dengan perkataan lain, identifikasi merupakan mekanisme penyesuaiandiri yang terjadi melalui kondisi interaksional dalam hubungan sosial antara individu dan tokoh identifikasinya. 8

Tokoh identifikasi dapat ditemukan di dalam kelompok atau institusi sosial. Di antaranya yang berperan penting ialah keluarga, kelompok sebaya, sekolah dan kelompok keagaamaan. 9 Di lingkungan keluarga, tokoh yang hendak disamai anak biasanya adalah ayah atau ibunya. Dalam proses identifikasi ini, anak tidak saja menjadi identik secara lahiriah, tetapi terutama justru secara bathiniah. Anak mengambil alih (biasanya dengan tidak disadari oleh anak itu sendiri) sikap-sikap, norma, nilai dan sebagainya dari tokoh identifikasi. Oleh sebab itu, anak laki-laki yang terbiasa dekat dengan ibunya, apabila ibu mengasuhnya secara feminim, bisa membawa sifat-sifat kewanitaan ibu. Untuk memelihara sifat kelaki-lakiannya diperlukan pendidikan yang agak keras, tidak berarti kasar, yang disebut Anna Freud (1937) sebagai identification with the anggressor. 10 Demikian pula di sekolah anak tidak hanya mempelajari pengetahuan dan keterampilan saja, tetapi juga sikap, nilai dan norma. Sebagai sikap dan nilai itu dipelajari anak secara informal melalui situasi formal di dalam dan di luar kelas dari para guru dan teman-temannya.11

Pada anak-anak, identifikasi mempunyai arti sangat penting bagi perkembangnan kepribadiannya. Anak-anak dari keluarga yang terpecah-pecah, atau anak-anak yang yatim piatu, tidak mempunyai tokoh identifikasi tertentu. Kondisi yang demikian bisa menyebabkan perkembangan kepribadiannya kurang sempurna, mudah terpengaruh dan mudah terjerumus dalam kenakalan atau kejahatan. Untuk menghindari hal ini, sebaiknya anak-anak seperti itu diberi tokoh identifikasi pengganti seperti nenek, paman dan pengasuh panti asuhan. 12

Anak-anak tidak hanya beridentifikasi dengan tokoh-tokoh yang dapat ditemui atau dihadapinya secara fisik. Mereka juga bisa beridentifikasi dengan tokoh-tokoh dalam buku dan gambar. Wilbur Schramm dan kawan-kawan mengemukakan bahwa anak-anak mudah untuk beridentifikasi dengan tokoh-tokoh dalam cerita yang ditayangkan di televisi. Para orang tua dapat menyaksikan bagaimana anak-anak lelaki bertingkah laku seperti pahlawan berkuda, dan anak-anak gadisnya bertingkah laku seperti pasangan kekasih. 13

Identifikasi, sebagaimana dikemukakan Michael Howe, tidak terbatas pada anak-anak. Bettelheim (1943) berdasarkan observasinya terhadap para narapidana yang telah lama menghuni kamp konsentrasi Nazi mengemukakan bahwa mereka beridentifikasi dengan para aggressor. Mereka meniru tingkah laku para penjaga kamp, bahkan kadang-kadang bertindak lebih sadis daripada para penjaga terhadap para narapidana lainya. 14

Identifikasi dapat dibedakan menjadi dua macam:identifikasi instingtif dan identifikasi yang bertujuan . Identifikasi instingtif tidak mempunyai tujuan. Ia muncul karena adanya dorongan (motivasi), terutama, berupa perasaan lemah di hadapan pihak yang mempunyai kekuatan. Pihak yang kalah akan beridentifikasi dengan pihak yang menang dengan mengikuti dan tunduk kepada hukumnya, yang dipimpin akan mengikuti pemimpinnya, dan anak-anak akan beridentifikasi dengan orang tuanya. Di sini pihak yang lemah melakukan tindakan yang identik dengan tokoh identifikasinya, didasarkan atas dorongan untuk memperoleh perlindungan. 15

Seseorang yang berada dalam kondisi yang lemah bisa mengikuti apa pun yang dilakukan tokoh identifikasinya. Muhammad Quthb memandang orang yang tidak mempunyai akidah yang benar sebagai pihak yang berada kondisi lemah. Ia mengemukakan :

Manakala manusia hidup tanpa akidah yang benar, maka dia akan menjadi budak bagi berbagai macam benda dan situasi lingkungan hidupnya. Inilah yang berkuasa padanya dan membentuk hidupnya. Akan tetapi orang yang memiliki akidah yang benar, maka akidah itulah dengan isinya yang lengkap dengan petunjuk-petunjuk Ilahi akan mengatur kehidupannya dan segala tingkah lakunya, perasaannya dan segala pola berfikirnya, bukanlah lingkungannya. 16

Agar individu tidak menjadi “budak lingkungannya “, identifikasi pada anak-anak dan sebagian orang dewasa di atas hendaknya disertai dengan penanaman pengertian akan apa yang ditirunya dan kesadaran akan tujuan. Dengan pengertian dan kesadaran tersebut, ia akan dapat memilih apa yang patut untuk diikuti.

Identifikasi yang bertujuan merupakan proses berfikir yang memadukan ketergantungan serta dorongan untuk meniru dengan kesadaran akan apa yang ditiru. Kalau identifikasi instengtif disebut taqlid, maka identifikasi yang bertujuan disebut ittiba’. 1717 Identifikasi terakhir inilah yang hendaknya membentuk kepribadian peserta didik muslim. Inilah pula yang diserukan al-Qur’an dalam banyak ayatnya, antara lain :

Katakanlah, “Inilah jalan (agama)ku, aku dan orang-orang yang mengikutiku mengajak (kamu) kepada Allah dengan hujjah yang nyata. Maha suci Allah, dan aku tidak termasuk orang-orang yang musyrik. “ (Q.S. Yusuf/12:108)


Dari uraian di atas dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut:

Pertama, pihak yang lemah (seperti anak-anak dan orang-orang yang dipimpin) mempunyai potensi untuk beridentifikasi dengan pihak yang dipandang memiliki kekuatan (seperti orang tua, guru, dan pemimpin) dan yang dikagumi (seperti artis, tokoh cerita, dan tokoh sejarah); bukan hanya dalam kebaikan, melaikan juga dalam keburukan.

Kedua, pendidik hendaknya memperhatikan tiga hal di bawah ini:

a. mengarahkan identifikasi tersebut kepada tujuan pendidikan Islam.

b. Mempersiapkan dirinya sebagai tokoh identifikasi; dan

c. Menyiapkan atau menciptakan tokoh identifikasi sesuai dengan tujuan pendidikan Islam, baik tokoh sejarah maupun tokoh cerita, baik melalui gambar, lisan ataupun tulisan.
2. Pembiasaan

Pembiasaan merupakan proses penanaman kebiasaan. Yang dimaksud dengan kebiasaan (habit) ialah cara-cara bertindak yang persistent, uniform, dan hampir-hampir otomatis (hampir-hampir tidak disadari oleh pelakunya) 18

Pembiasaan merupakan salah satu metode pendidikan yang sangat penting, terutama bagi anak-anak. Mereka belum menginsyafi apa yang disebut baik dan buruk dalam arti susila. Demikian pula mereka belum mempunyai kewajiban-kewajiban yang harus dikerjakan seperti pada orang dewasa. Ingatan mereka belum kuat. Mereka lekas melupakan apa yang sudah dan baru terjadi. Di samping itu, perhatian mereka lekas dan mudah beralih kepada hal-hal yang baru dan disukainya. Apalagi pada anak-anak yang baru lahir, semua itu belum ada sama sekali atau setidaknya belum sempurna sama sekali. Dalam kondisi ini mereka perlu dibiasakan dengan tingkah laku, keterampilan, kecakapan dan pola piker tertentu. Anak perlu dibiasakan untuk mandi, makan, dan tidur secara teratur, serta bermain-main, berbicara, belajar, bekerja, dan sebagainya.

Seseorang yang telah mempunyai kebiasaan tertentu akan dapat melaksanakannya dengan mudah dan senang hati. Bahkan segala sesuatu yang telah menjadi kebiasaan dalam usia muda sulit untuk diubah dan tetap berlangsung sampai hari tua. Untuk mengubahnya sering kali diperlukan terapi dan pengendalian diri yang serius. Ambillah contoh orang yang mempunyai kebiasaan merokok. Ia sadar bahwa kebiasaannya itu buruk, tetapi usaha untuk menghentikannya dengan kompensasi menghisap gula-gula dan sebagainya sering kali mengalabi kegagalan. Ia baru bisa menghentikannya di bulan ramadhan. Itu pun hanya di siang hari ketika ia berpuasa, sedangkan di malan hari ia kembali kepada kebiasaanya. Atas dasar ini, para ahli pendidikan senantiasa mengingatkan agar anak-anak segera dibiasakan dengan sesuatu yang diharapkan menjadi kebiasaan sebelum terlanjur mempunyai kebiasaan lain yang berlawanan dengannya.

Tindakan praktis mempunyai kedudukan penting dalam Islam. Islam, kata ‘Abdurrahman al-Nahlawi, bukan agama mantera-mantera dan jampi-jampi. Segala penjelasan ajarannya menuntut manusia untuk mengarahkan tingkah laku, insting, bahkan hidupnya untuk merealisasi hukum-hukum Ilahi secara praktis. 1919 Praktis ini akan sulit terlaksana manakala seseorang tidak terlatih dan terbiasa untuk melaksanakannya.

Di dalam al-Qur’an terdapat banyak ayat yang menunjuk kepada penggunaan metode pembiasaan. Di antaranya terdapat dalam firman Allah sebagai berikut :

Hai orang-orang yang beriman, hendaklah budak-budak (lelaki dan wanita) yang kamu miliki, dan orang-orang yang belum balig di antara kamu, meminta izin kepada kamu tiga kali (dalam satu hari), yaitu sebelum sembahyang subuh, ketika kamu menaggalkan pakaian (luar)mu di tengah hari, dan sesudah sembahyang Isya. (Itulah) tiga aurat bagi kamu. Tidak ada dosa atasmu dan tidak (pula) atas mereka selain dari (tiga waktu) itu. Mereka melayani kamu, sebagian kamu ada keperluan kepada sebagian (yang lain). Demikianlah Allah menjelaskan ayat-ayat bagi kamu. Dan Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana. Dan apabila anak-anakmu telah sampai umur balig, maka hendaklah mereka meminta izin, seperti orang-orang yang sebelum mereka meminta izin. Demikianlah Allah menjelaskan ayat-ayat-Nya. Dan Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana. (Q.S. al-Nur/24: 58-59).


Ayat diatas berkenaan dengan etika meminta izin yang hendaknya diperhatikan oleh pembantu rumah tangga ketika hendak memasuki kamar tuannya dan anak-anak yang belum balig ketika hendak memasuki kamar orang tuanya. Ayat menyebutkan tiga waktu yang hendaknya mereka perhatikan ketika meminta izin, yaitu (a) waktu siang ketika orang biasanya tidur siang dan menanggalkan pakaian luar; (b) waktu sesudah shalat Isya ketika orang biasanya mulai tidur dan membuka pakaian; serta (c) waktu fajar ketika orang masih tidur atau baru bangun tidur dan belum berpakaian rapi. Dalam tiga waktu ini, apabila pembantu atau anak tiba-tiba memasuki ruang tuan atau orang tuanya sangat mungkin akan melihat pemandangan yang tidak patut untuk mereka lihat.

Al-Shabuni, ahli hukum Islam dan studi Islam dari Mekah mengatakan bahwa pada lahirnya perintah dalam ayat tersebut diarahkan kepada anak-anak, tetapi pada hakikatnya diperuntukkan bagi orang dewasa. Di samping itu, ayat tersebut mengandung tanggung jawab pendidikan atas tuan atau orang tua untuk mendidik pembantu dan anak-anaknya agar memelihara tatakrama meminta izin apabila hendak memasuki kamar pribadi orang lain. 20 Al-Shabuni selanjutnya mengingatkan para pendidik akan teori yang dikemukakan para ahli psikologi, bahwa sebagian peristiwa yang dialami anak-anak melalui penglihatannya mempunyai pengaruh yang dalam terhadap masa depan kehidupan mereka. Sering kali pengaruh itu bersifat negatif dan menjadi penyakit mental atau moral yang tidak mudah untuk disembahkan. 21 Sunnah Rasulullah saw yang sangat dikenal sehubungan dengan metode pembiasaan ialah sebagai berikut :

Suruhlah anak-anak kalian untuk melaksanakan shalat ketika mereka berumur tujuh tahun, dan pukullah mereka apabila meninggalkannya ketika mereka berumur sepuluh tahun dan pisahkanlah tempat tidur mereka (H.R. Abu Dawud)


Ibnu Qayyim menerangkan bahwa perintah ini ditujukan kepada para wali, buakn kepada anak-anak. Para wali diperintahkan untuk mengajarkan tata cara melaksanakan shalat kepada anak-anaknya ketika berumur tujuh tahun, lalu menyuruh mereka melaksanakannya sesuai dengan pengajaran itu. Hal inidimaksudkan agar mereka terbiasa dan merasa senang melaksanakan shalat. Setelah berumur 10 tahun, apabila mereka meninggalkan shalat, hendaknya para wali memukul mereka, karena mereka telah baliq atau mendekati masa baliq. Pada umur 10 tahun itu pula, para wali memisahkan tempat tidur anak-anak antara satu dengan lainnya. Pemisahan ini dimaksudkan untuk menghindari gejolak nafsu birahi, meskipun mereka bersaudara. Pendek kata, perintah kepada para wali ini dimaksudkan sebagai pendidikan dan pengajaran bagi anak-anak agar senantiasa memelihara perintah Allah, bergaul antara sesama makhluk menurut perintah Allah, tidak berada di tempat yang bisa menimbulkan prasangka buruk dan menjauhi larangan Allah.22

Pembentukan kebiasaan. Kebiasaan terbentuk melalui pengulangan dan memperoleh bentuknya yang tetap apabila disertai dengan kepuasaan. 23 Anak yang sering mendengar orang tuanya mengucapkan nama Allah, umpamanya, akan mulai mengenal nama Allah. Hal itu kemudian mendorong tumbuhnya jiwa keagamaan pada anak tersebut. 24 Demikian pula anak dapat berdisiplin dengan berlatih mematuhi peraturan secara berulang-ulang di lingkungan keluarga, sekolah dan lingkungan lainnya.

Menanamkan kebiasaan itu sulit dan kadang-kadang memerlukan waktu yang lama. Kesulitan itu disebabkan pada mulanya seseorang atau anak belum mengenal secara praktis sesuatu yang hendak dibiasakannya. Apabila yang dibiasakan itu dirasa kurang menyenangkan. Oleh sebab itu, dalam menanamkan kebiasaan diperlukan pengawasan. Bahkan dalam hal ini, sebagaimana disarankan ‘Abdullah ‘Ulwan, pendidik bisa menggunkan motivasi dengan kata-kata yang baik, bisa memberikan hadiah, hingga menggunakan hukuman apabila dipandang perlu dalam meluruskan penyimpangan. 25 Pengawasan hendaknya digunakan, meskipun secara berangsur-angsur peserta didik harus diberi kebebasan. Anak-anak yang masih kecil sangat membutuhkan pengawasan. Selanjutnya, makin besar anak itu, pengawasan terhadapnya hendaknya makin dikurangi. Dengan perkataan lain, pengawasan dilakukan dengan mengingat usia peserta didik, serta perlu ada keseimbangan antara pengawasan dan kebebasan. Tujuan pendidikan adalah membentuk peserta didik agar pada akhirnya dapat berdiri sendiri dan bertanggung jawab atas perbuatannya. Hal itu baru akan tercapai apabila ia mempunyai kebebasan.

Pengawasan hendaknya dilakukan terus-menerus. Artinya pendidik hendaknya konsekuen, bersikap tegas dan tetap teguh pada pendirian yang telah diambilnya. Segala aturan baik perintah ,aupun larangan, hendaknya dijaga agar selalu dilaksanakan dan tidak dilanggar.

Dengan pengawasan, pendidik dapat mengevaluasi apakah peserta didik telah mempunyai kebiasaan tentang sesuatu yang ditanamkan kepadanya ? Apakah untuk menguatkan kebiasaan itu diperlukan ganjaran ataukah hukuman ? Apakah kebiasaan itu melahirkan kepuasan pada peserta didik ? Evaluasi semacam ini akan berguna bagi pendidik dalam proses pembiasaan. Di samping itu, dengan pengawasan, pendidik dapat menghindarkan bahaya-bahaya yang dapat merugikan perkembangan anak-anak, baik jasmani maupun rohani.

Pembiasaan hendaknya disertai dengan usaha membangkitkan kesadaran atau pengertian terus-menerus akan maksud dari tingkah laku yang dibiasakan. Sebab, pembiasaan digunakan bukan untuk memaksa peserta didik agar ia dapat melakukan sesuatu secara otomatis seperti robot, melainkan agar ia dapat melaksanakan segala kebaikan dengan mudah tanpa merasa susah atau berat hati. 26 Disamping itu, tingkah laku muslim yang benar adalah yang sejalan dengan kata hatinya. Rasulullah saw menegaskan :

Sesungguhnya nilai segala perbuatan ditentukan oleh niat, dan setiap orang akan mendapat balasan sesuai dengan niatnya perbuatannya.


Allah saw akan meminta pertanggungjawaban dari manusia atas segala perbuatannya sesuai dengan kadar keterkaitan perbuatan itu dengan niat. Atas dasar itulah, pembiasaan yang pada awalnya bersifat mekanistik hendaknya diusahakan agar menjadi kebiasaan yang disertai kesadaran (kehendak dan kata hati) peserta sendiri. Hal ini sangat mungkin apabila pembiasaan secara berangsur-angsur disertai dengan penjelasan-penjelasan dan nasihat-nasihat, sehingga makin lama timbul pengertian dari peserta didik.
Memberi Nasihat

Al-Qur’an sarat dengan nasihat, Allah menjelaskan:

Sesungguhnya Allah memberika pengajaran yang sebaik-baiknya kepadamu (Q.S. al-Nisa/4:58)

Yang dimaksud dengan nasihat ialah penjelasan tentang kebenaran dan kemaslahatan dengan tujuan menghindarkan orang yang dinasihati dari bahaya serta menunjukkannya ke jalan yang mendatangkan kebahagiaan dan manfaat. 27

Memberi nasihat merupakan salah satu metode penting dalam pendidikan Islam. Dengan metode ini pendidik dapat menanamkan pengaruh yang baik ke dalam jiwa apabila digunakan dengan cara yang dapat mengetuh relung jiwa melalui pintunya yang tepat. Bahkan dengan metode ini pendidik mempunyai kesempatan yang luas untuk mengarahkan peserta didik kepada berbagai kebaikan dan kemaslahatan serta kemajuan masyarakat dan umat. Cara dimaksud ialah hendaknya nasihat lahir dari hati yang tulus. Artinya pendidik berusaha menimbulkan kesan bagi peserta didiknya bahwa ia adalah orang yang mempunyai niat baik dan sangat peduli terhadap kebaikan peserta didik. Hal inilah yang membuat nasihat mendapat penerimaan yang baik dari orang-orang yang diberi nasihat. 28 Cara yang demikian sesungguhnya sesuai dengan pengertian etimologis kata nasihat itu sendiri. Kata ini dalam bahasa Arab berakar pada katanashaha dan mengandung pengertian bersih dari noda dan tipuan. Rajulun nashihun al-jaib berarti orang yang tidak memiliki sifat menipu dan al-nashih berarti madu murni. Atas dasar pengertian ini, kata ‘Abdurrahman al-Nahlawi, indikasi nasihat yang tulus ialah orang yang memberi nasihat tidak berorientasi kepada kepentingan material pribadi. Selanjutnya pendidik yang memberi nasihat secara tulus hendaknya menghindarkan diri dari segala bentuk sifat riya dan pamrih agar tidak menodai keikhlasannya sehingga kewibawaan edukatifnya dan pengaruhnya terhadap jiwa peserta didik menjadi hilang. 29

Dalam interaksi antara pihak yang memberi nasihat dan yang diberi nasihat pihak pertama menempati posisi lebih dan pihak kedua berada dalam posisi kurang. Dapat dikatakan bahwa dengan memberi nasihat pada dasarnya pendidik menggurui peserta didik. Kondisi yang demikian sering kali membuat pihak yang diberi nasihat merasa direndahkan, dan karenanya nasihat itu tidak baik, melainkan karena ia tidak berkenan dengan cara penyampaian nasihat itu. Oleh sebab itu, dalam menggunakan metode nasihat, pendidik hendaknya berusaha menghindari perintah dan larangan langsung seperti “ Kerjakan ini!” dan Jangan lakukan itu!” Sebaiknya pendidik menggunakan teknik-teknik tidak langsung seperti dengan bercerita dan membuat perumpamaan.

Cerita atau kisah bisa bermuatan ajaran moral dan nilai-nilai edukatif. Cerita-cerita yang disajikan di dalam al-Qur’an sarat dengan ajaran dan nilai yang demikian. Allah swt menegaskan :

Kami menceritakan kepadamu kisah yang paling baik dengan mewahyukan al-Qur’an ini kepadamu……(Q.S Yusuf/12:3)

Sesungguhnya pada kisah-kisah mereka itu terdapat pengajaran bagi orang-orang yang mempunyai akal. (Q.S. Yusuf/12:111)

Dari kisah para nabi dan umat terdahulu banyak pelajaran yang dapat dipetik. Allah swt, umpamanya bercerita kepada kaum munafik dan kafir pada masa Nabi Muhammad saw tentang kaum kafir dan umat terdahulu yang ingkar kepada para rasul-Nya. Kemudian Allah swt menjelaskan akibat kezhaliman yang mereka lakukan terhadap diri mereka sendiri:

Belumkah datang kepada mereka berita penting tentang orang-orang sebelum mereka, (yaitu) kaum Nuh,’Ad, Tsamud, kaum Ibrahim, penduduk Madyan, dan (penduduka) negeri-negeri yang telah musnah ? Telah dating kepada mereka rasul-rasul dengan membawa keterangan yang nyata. Maka Allah tidaklah menganiaya mereka, tetapi merekalah yang menganiaya diri mereka sendiri. (Q.S. al-Taubah/9:70)


Ketika menggunakan kisah-kisah itu untuk memberi nasihat, pendidik dapat membahasnya secara panjang-lebar dan meninjaunya dari berbagai aspek selaras dengan tujuan pendidikan yang hendak dicapai.

Pendidik dapat pula menggunakan pelajaran sejarah untuk menyampaikan ajaran dan nasihat. Banyak umat yang jatuh karena akhlaknya rusak, tidak sedikit kebudayaan yang hancur karena masyarakat pendukung kebudayaan itu terpecah-belah, begitu pula banyak orang yang binasa karena kesombongan dan kekufurannya. Itulah beberapa ajaran dan nasihat yang dapat dipetik dari pelajaran sejarah. Tujuan pengungkapan peristiwa-peristiwa sejarah dalam al-Qur’an pun, kata ‘Abdurrahman al-Nahlawi, bukan untuk menanamkan fanatisme kebangsaan atau keagamaan tertentu, bukan pula untuk membanggakan nenek-moyang, melainkan untuk memetik pelajarannya dan mengetahui intisarinya. 30

Dalam al-Qur’an ditemukan banyak ayat yang bertalian dengan berbagai peristiwa. Meskipun peristiwa-peristiwa itu terjadi karena sebab khusus, tetapi nilai pelajaran yang terkandung di dalamnya berlaku bagi semua manusia. Umpamanya, Allah swt mengajarkan kepada kaum muslimin bahwa jumlah tentara yang banyak, yang begitu dibangga-banggakan belum tentu akan dapat membawa kemenangan. Sebaliknya, keimanan yang kokoh, yang berakar dalam kalbu dan taufik dari Allah swt. (sambil menyadari sumber dan sebab segala kekuatan), niscaya membawa kemenangan. Pelajaran ini disajikan melalui peristiwa sejarah yang dikenal dengan Perang Hunain :

Sesungguhnya Allah telah menolong kalian (hai orang-orang yang beriman) di medan perang yang banyak. Dan (ingatlah) peperangan Hunain, yaitu di waktu kalian menjadi congkak karena banyaknya jumlah kalian, maka jumlah yang banyak itu tidak memberi manfaat kepada kalian sedikit pun. Dan bumi yang luas itu telah terasi sempit oleh kalian, kemudian kalian lari kebelakang dengan bercerai-berai. Kemudian Allah menurunkan ketenangan kepada Rasul-Nya dan kepada orang-orang yang beriman, dan Allah menurunkan bala tentara yang kalian tidak melihatnya, dan Allah menimpakan bencana kepada orang-orang kafir, dan demikianlah pembalasan kepada orang-orang kafir. (Q.S. al-Taubah/9:25-26)


Nasihat dapat pula disampaikan dengan membuat perumpamaan. Al-Qur’an telah menyajikan banyak perumpamaan yang dapat digunakan sebagai model dalam menyampaikan nasihat. Umpamanya, nasihat untuk beriman dan tidak kafir. Nasihat ini disajikan dalam perumpamaan sebagai berikut :

Dan Allah membuat (pula) perumpamaan dua orang laki-laki, yang seorang bisu, tidak dapat berbuat sesuatu pun dan dia menjadi beban atas penanggungannya, kemana saja dia disuruh oleh penanggungannya, dia tidak dapat mendatangkan suatu kebajikan pun. Samakah orang itu dengan orang yang menyuruh berbuat keadilan, dan dia berada di atas jalan yang lurus ? (Q.S. al-Nahl/16:76)


Dalam firman tersebut Allah mengumpamakan orang mukmin dengan orang yang mampu berjalan di atas jalan yang lurus, dan mengumpamakan orang kafir dengan orang yang tidak mampu mengerjakan apa pun, malah hanya menjadi beban bagi orang lain.
4. Motivasi dan Intimidasi

Metode motivasi dan intimidasi telah digunakan masyarakat secara luas: orang tua terhadap anak, pendidik terhadap murid, bahkan masyarakat luas dalam interaksi antar sesamanya. Al-Qur’an ketika menggambarkan surga dengan segala kenikmatannya dan neraka dengan segala siksanya menggunakan metode ini. Demikian pula ketika mengemukakan prinsip logis tentang keseimbangan antara balasan dan perbuatan.

Pada hari ini manusia keluar dari kuburnya dalam keadaan yang bermacam-macam, supaya diperlihatkan kepada mereka (balasan) pekerjaan mereka. Barangsiapa yang mengerjakan kebaikan seberat dzahrah pun (sekecil apa pun), niscaya dia akan melihat (balasan)nya. Dan barangsiapa yang mengerjakan kejahatan seberat dzarrah pun, niscaya dia akan melihat (balasan)nya pula. (Q.S. al-Zalzalah/99:6-8)


Dalam bahasa Arab ini disebut uslub al-targhib wa al-tarhib.Metode ini sesuai dengan tabiat manusia di damana pun dan apa pun jenis, warna kulit, atau ideologinya. Manusia menurut tabiatnya bertingkah laku sesuai dengan kadar pengetahuannya tentang akibat yang mungkin lahir dari tingkah laku dan perbuatannya, apakah akibat itu membahayakan ataukah bermanfaat dan apakah menyenangkan ataukah menyengsarakan.

Motivasi dan intimidasi digunakan sesuai dengan perbedaan tabiat dan kadar kepatuhan manusia terhadap prinsip-prinsip dan kaidah-kaidah Islam, Sebab pengaruh yang dihasilkan tiap-tiap metode itu tidaklah sama. Metode motivasi lebih baik ketimbang metode intimidasi. Yang pertama bersifat positif dan pengaruhnya relatif lebih lama karena bersandar pada pembangkitan dorongan intrinsik manusia. Sementara itu, metode kedua bersifat negatif dan pengaruhnya relatif temporal (sementara) karena bersandar pada rasa takut. 31

Penggunaan metode motivasi sejalan dengan apa yang dalam psikologi belajar disebut sebagai law of happiness, prinsip yang mengutamakan suasana menyenangkan dalam belajar. Ajaran Islam, kata Abdul Fattah Jalal, memberikan prioritas pada upaya menggugah suasana gembira disbanding dengan ancaman dan hukuman. Dalam pelaksanaan prinsip ini hendaknya guru atau pendidik tanggap akan adanya berbagai iklim dan kondisi yang dihayati peserta didik selama proses belajar-mengajar. 32

Pengutamaan penggunaa metode motivasi atas intimidasi terlihat melalui fakta-fakta sebagai berikut :

Rasulullah saw diutus kepada umat manusia denganmemberikan kabar kembira :

Sesungguhnya Kami telah mengutus (Muhammad) dengan kebenaran, sebagai pe,bawa berita gembira dan pemberi peringatan…..(Q.S. al-Baqarah/2:119)


Allah memuji Rasulullah saw yang bersandar pada pemberian kabar gembira dan menyerunya untuk senantiasa menggunakannya :

Maka disebabkan rahmat Allah-lah kamu berlaku lemah-lembut terhadap mereka. Sekiranya kamu bersikap keras lagi berhati kasar, tentulah mereka menjauhkan diri dari sekelilingmu. Karena itu, maafkanlah mereka, mohonkanlah ampun bagi mereka, dan bermusyawarahlah dengan mereka dalam urusan itu. Kemudian apabila kamu telah membulatkan tekad, Maka bertawakkallah kepada Allah. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertawakkal kepada-Nya. (Q.S. Ali ‘Imran/3:159)

Dalam hal kebaikan, Allah melipatgandakan pahalanya, sementara dalam hal keburukan, Dia membalasnya setimpal dengan keburukan itu :

Barangsiapa membawa amal yang baik, maka baginya (pahala) sepuluh kali lipat amalnya. Dan barangsiapa membawa perbuatan yang jelek, maka dia tidak diberi pembalasan melainkan seimbang dengan kejelekannya, sedang mereka sedikit pun tidak dianiaya (dirugikan). (Q.S. al-An’am/6:160)


Allah akan meminta pertanggungjawaban dari manusia atas dosa-dosa yang mereka lakukan. Namun, sementara itu, dia pun membuka pintu taubat bagi mereka.

Maka barangsiapa bertaubat (di antara pencuri-pencuri itu) sesudah melakukan kejahatan itu dan memperbaiki diri, maka sesungguhnya Allah menerima taubatnya. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun Lagi Maha Penyayang. (Q.S. al-Mai’idah, 5:39)

Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertaubat dan menyukai orang-orang yang menyucikan diri. (Q.S. al-Baqarah/2:222)


Pembukaan pintu taubat itu sejalan dengan tabiat manusia sangat kondusif untuk berbuat keliru . Sulit untuk ditemukan ada orang yang tidak pernah berbuat keliru dan memiliki sifat yang sempurna. Oleh sebab itu, metode perbaikan (al-uslub al-ishlahi) yang digunakan pendidikan Islam memberi kesempatan bagi orang yang keliru untuk kembali ke jalan yang lurus. Hal ini mengandung kebaikan dan perbaikan bagi orang yang berdosa atau keliru. Seandainya orang yang berdosa tidak pernah diberi kesempatan untuk memperbaiki dirinya, boleh jadi ia akan mengalami frustasi, lalu tenggelam dalam dosa-dosanya. 33 Allah swt menjelaskan:

Katakanlah, “Hai hamba-hamba-Ku yang melampaui batas terhadap diri mereka sendiri, janganlah kamu berputus asa dari rahmat Allah. Sesungguhnya Allah mengampuni dosa-dosa semuanya. SesungguhnyaDialah Yang Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. (Q.S. al-Zumur, 39:53)


Semua ini menunjukkan bahwa pendidikan Islam lebih mengutamakan penggunaan metode motivasi ketimbang metode intimidasi. Metode intimidasi dan hukuman baru digunakan apabila metode-metode lain seperti pemberian nasihat, petunjuk, dan bimbingan, tidak berhasil untuk mewujudkan tujuan.
5. Sekitar Hukuman

Hukuman sebagai salah satu metode pendidikan mendapat perhatian besar dari para filosof dan pendidik muslim seperti Ibnu Sina, al-Ghazali, al-‘Abdari, Ibnu Khaldun, dan Muhammad ‘Athiyyah al-Abrasyi. 34

Mereka secara sepakat berpegang pada prinsip yang menyatakan : Menjaga (tindakan preventif) lebih baik ketimbang mengobati (tindakan kuratif).

Oleh sebab itu, mereka menyeru para pendidik untuk menggunakan berbagai metode dalam mendidik anak-anak agar mereka mempunyai kebiasaan-kebiasaan baik ketika besar, sehingga ketika itu tidak diperlukan metode hukuman. Mereka juga menyerukan agar anak-anak sejak awal tidak biasa diperlakukan dengan kasar. Perlakuan yang demikian akan membuat anak berjiwa sempit, tidak lapang dada, kehilangan semangat, serta diperlakukan secara kasar.

Hukuman merupakan metode terburuk, tetapi dalam kondisi tertentu harus digunakan. Oleh sebab itu, ada beberapa hal yang hendaknya diperhatikan pendidik dalam menggunakan hukuman :

1. Hukuman adalah metode kuratif. Artinya, tujuan hukuman ialah untuk memperbaiki peserta didik yang melakukan kesalahan dan memelihara peserta didik lainnya, bukan untuk balas dendam. Oleh sebab itu, pendidik hendaknya tidak menjatuhkan hukuman dalam keadaan marah.

2. Hukuman baru digunakan apabila metode lain, seperti nasihat dan peringatan tidak berhasil guna dalam memperbaiki peserta didik. ‘Abdullah ‘Ulwan mengemukakan langkah-langkah yang hendaknya diperhatikan dalam memperbaiki peserta didik. Langkah-langkah dimaksud ialah mengingatkannya akan kesalahan dengan : memberi pengarahan, membujuk, memberi isyarat, mencela, mengucilkan, memukul, dan hukuman yang mengandung pendidikan bagi orang lain.35 Dalam al-Qur’an prinsip kebertahapan dalam memberikan hukuman terlihat pada ayat sebagai berikut :

……Wanita-wanita yang kamu khawatiri nusyuznya, maka nasihatilah mereka dan pisahkanlah diri dari tempat tidur mereka, dan pukullahmereka. Kemudian jika mereka menaatimu, maka janganlah kamu mencari-cari jalan untuk menyusahkannya. Sesungguhnya Allah Maha Tinggi lagi Maha Besar. (Q.S. al-Nisa/34)


3. Sebelum dijatuhi hukuman, peserta didik hendaknya lebih dahulu diberi kesempatan untuk bertaubat dan memperbaiki diri.

4. Hukuman yang dijatuhkan kepada peserta didik hendaknya dapat dimengerti olehnya, sehingga ia sadar akan kesalahannya dan tidak mengulanginya. Dengan perkataan lain, sasaran hukuman bukanlah correct behavior, bagaimana agar peserta didik berperilaku benar, melainkan correct emotion, bagaimana agar ia memiliki emosi yang baik yang dengan emosi itu pada akhirnya ia akan berperi laku baik. 36

5. Hukuman psikhis lebih baik ketimbang hukuman fisik. Umpamanya, anak terlalu banyak bermain sehingga tidak mempunyai perhatian untuk belajar. Bagi anak ini hukuman tidak boleh bermain lebih baik ketimbang pukulan.

6. Hukuman hendaknya disesuaikan dengan perbedaan latar belakang kondisi peserta didik. ‘Abdullah ‘Ulwan mengemukakan bahwa peserta didik mempunyai kesiapan yang berbeda-beda dalam hal kecerdasan ataupun respons yang dilahirkan. Demikian pula dalam hal temperamin. Ada peserta didik yang temperaminnya tenang, ada yang temperaminnya sedang, dan ada pula yang mudah bergejolak. Semuanya disebabkan oleh factor warisan, lingkungan, kematangan, dan pendidikan. Atas dasar itu, ada anak yang dapat diperbaiki dengan dipandang dengan muka masam, ada yang perlu dicela, dan ada yang perlu dipukul. 37

7. Dalam menjatuhkan hukuman, hendaknya diperhatikan prinsip logis, yaitu hukuman disesuaikan dengan jenis kesalahan.

8. Pendidikan hendaknya tidak mengeluarkan ancaman hukuman yang tidak mungkin dilakukannya. Umpamanya, “Jika kamu tidak mengerjakan pekerjaan rumah, saya akan membunuhmu.” Pendidikan tentu tidak mungkin membunuh peserta didiknya. Ancaman yang demikian dapat membuat anak mengulangi perbutannya.
6. Metode Persuasi

Yang dimaksud dengan metode persuasi ialah meyakinkan peserta didik tentang suatu ajaran dengan kekuatan akal. Metode ini dalam bahasa Arab dikenal dengan istilah ( uslub al-iqna wa al-iqtina).

Penggunaan metode persuasi didasarkan atas pandangan bahwa manusia adalah makhluk yang berakal. Al-Qur’an sarat dengan contoh yang menunjukkan penghargaan Islam terhadap akal, serta memerintahkan kepada manusia untuk menggunakan akal dalam membedakan antara yang benar dan yang salah serta anatara yang baik dan yang buruk. Seruan Allah kepada Rasul-Nya agar menyeru manusia dengan cara yang bijaksana, memberi pengajaran yang baik, dan berargumentasi secara baik, menunjukkan kepentingan penggunaan metode ini. Allah menjelaskan :

Serulah manusia kejalan Tuhanmu dengan hikmah dan pelajaran yang baik dan bantahlah mereka dengan cara yang baik. (Q.S. al-Nahl/16:125)


Demikian pula penegasan Allah untuk tidak menggunakan pemaksaan dalam menyeru manusia untuk beragama:

Tidak ada paksaan untuk (memasuki) agama (Islam); sesungguhnya telah jelas jalan yang benar daripada jalan yang salah. (Q.S. al-Baqarah, 2:256)

Dengan metode persuasi, pendidikan Islam menekankan pentingnya memperkenalkan dasar-dasar rasional dan logis segala persoalan yang dimajukan kepada peserta didik. Mereka dihindarkan dari meniru segala pengetahuan secara buta tanpa memahami hakikatnya atau pertaliannya dengan realitas, baik individual maupun sosial. Mereka juga diberi kesempatan untuk melakukan diskusi secara benar dan konstruktif dalam menganalisis berbagai aspek obyek yang didiskusikan.

Salah satu teknik yang mungkin dapat digunakan pendidik untuk meyakinkan peserta didik dalam persoalan keagamaan, terutama persoalan gaib, ialah penjelasan kepada mereka tentang adanya bermacam-macam pengetahuan, seperti pengetahuan mistik-transendental (laduniyyah ghaybiyyah) dan pengetahuan tradisional dari generasi terdahulu. Jenis pengetahuan ini kadang-kadang sulit dipahami melalui pola piker rasional. Banyak sekali fakta yang menjelaskan hal itu; bahkan dalam ilmu fisika atau ilmu-ilmu empiris sekalipun. Alam sekitar manusia penuh dengan fenomina-fenomina yang tidak dapat dilihat, dirasa, dan didengar. Meskipun demikian, tidak seorangpun dapat mengingkari keberadaannya. Ambilah contoh gelombang suara dan gelombang cahaya. Ada wujud yang sangat kecil dan tidak dapat dilihat melalui mata telanjang; dan ada suara-suara sangat halus, seperti merayapnya semut, yang tidak mungkin didengar melalui telinga biasa. Semua itu ada dan keberadaannya tidak pernah diketahui oleh manusia di masa lalu. Kemudian akal kadang-kadang sulit untuk membayangkan pembakaran yang dihasilkan sinar laser terhadap tubuh-tubuh keras. Pendek kata, tidaklah perlu membuktikan wujud sesuatu dengan wujudnya secara langsung, tetapi cukup dengan mengetahui bekas atau tandanya. Orang bijak dahulu mengatakan bahwa unta betina itu ada karena ada untu jantan, dan berjalan itu ada karena ada langkah. Demikian pula, fakta-fakta penciptaan alam membuktikan keagungan Penciptanya.

Ilmu pengetahuan modern menggunkan pola berfikir ini.

Dalam pendidikan, umpamanya, belum dapat diketahui secara pasti apa yang terjadi pada akal manusia sebagai akibat dari proses belajar. Orang percaya bahwa manusia mempelajari berbagai pengetahuan, tingkah laku, dan keterampilan. Namun bagaimana belajar itu terjadi pada manusia, ini merupakan lapangan ijtihad berbagai teori yang berusaha menafsirkan belajar pada manusia.

Di dalam kehidupan sendiri terdapat hal-hal yang rasional dan irrasional. Orang kadang-kadang menolak aspek irrasional ketika berfikir dengan logika rasional. Meskipun demikian, ia tetap hidup dalam realitas ini dan terpengaruh olehnya. Banyak orang yang percaya secara ilmiahkepada teori yang mengatakan bahwa “ apabila orang hidup karena mengikuti dasar-dasar kesehatan, maka ia mesti mati karena sakit.” Namun, kehidupan menunjukkan bahwa hal itu hanya merupakan salah satu hukum kehidupan.Kebenaran ilmiah tidaklah abadi. Tidak sedikit teori ilmu yang pernah menguasai pemikiran di suatu masa kemudian terbukti tidak benar. Hal ini menjelaskan bahwa akal mempunyai keterbatasan.

Di samping itu, manusia tidak selamanya hidup dengan mengikuti dasar-dasar rasional. Kadang-kadang manusia dapat mencapai keyakinan rasional, tetapi ia sering kali terbelenggun oleh kebiasaannya. Contohnya, banyak orang yang yakin akan bahaya merokok, tetapi ia tidak mampu mencegah kebiasaannya. Seringkali orang yakin akan sesuatu dari sisi rasional, tetapi tidak yakin dari sisi emosional. Oleh sebab itu, pendidikan Islam berusaha membimbing manusia muslim agar mampu menguasai perasaan dan menjauhkan diri dari fanatisme buta; kemudian dasar rasional ditanamkan agar dapat membantu penyucian perasaan yang mulia serta nilai-nilai kebenaran, kebaikan dan keindahan.
7. Pengetahuan Teoritis

Metode ini merupakan metode paling tua dan umum digunakan dalam pendidikan Islam. Pengetahuan dan ilmu mempunyai nilai hakiki dalam Islam. Orang-orang yang berpengetahuan tidak akan pernah sama. Islam memandang ilmu sebagai jalan untuk mencapai ketaatan dan ketundukan kepada Allah. Islam menghargai ilmu dan orang-orang berilmu, serta memandang pengetahuan sebagai dasar pertanggungjawaban. Allah SWT berfirman :

….dan Kami tidak akan mengazab sebelum Kami mengutus seorang rasul. (Q.S. al-Isra/17:15).

Pengetahuan teoritis itu penting karena ia mengembangkan akal pikiran manusia dan membantunya untuk membentuk latar belakang cultural memungkinkannya untuk berinteraksi dengan masyarakatnya; dan membantunya dalam menjalankan peranan sebagai warga masyarakat yang baik.

Ada suara-suara sumbang dari parapendidik yang mempertanyakan kepentingan pengetahuan teoritis. Mereka mengeritik pendidikan modern sebagai pendidkan verbalistis-teoritis, tidak fungsional, tidak praktis, dan tidak mempunyai kegunaan sosial. Pendidikan modern, dalam pandangan mereka, sudah terisolasi dari masyarakat dan para pelajar. Situasi ini seringkali membuat sebagian pendidik melukiskan para guru sebagai orang-orang yang berusaha mengajari peseta didik hal-hal yang mereka tidak ingin pelajari. Seringkali kritik ini berlebihan sehingga menjurus kepada klaim tidak benar. Walau bagaimana pun kritik itu tidak mengurangi arti penting pengetahuan teoritis. Pendidikan sekolah tidak akan berhenti untuk menyampaikan jenis pengetahuan ini, mengingat urgensi dan kepentingannya. Sebab, gagasan praktis apa pun mesti dimulai dengan gagasan teoritis, dan manusia berfikir dengan rumus-rumus.
C. Penutup

Metode-metode yang telah dikemukakan di atas hanya merupakan contoh dari sekian banyak metode yang dapat digunakan dalam pendidikan Islam. Pendidik hendaknya tidak fanatik terhadap suatu metode. Setiap metode memiliki kelebihan dan kekurangan. Kadang-kadang pendidik cukup menggunakan satu metode dalam menyampaikan suatu materi pendidik, tetapi kadang-kadang perlu memadukan berbagai macam metode.

Pendek kata, sebelum menggunakan suatu metode, pendidik hendaknya mempertimbangkan secara matang faktor-faktor yang terkait dengannya, seperti tujuan setiap materi pendidikan, latar-belakang individual peserta didik, serta situasi dan kondisi berlangsungnya pendidikan. Pribadi pendidik mempunyai peranan penting dalam memilih metode pendidikan apa pun, metode lebih penting dibandingkan materi; tetapi pribadi guru lebih penting dibanding metode.”

















DAFTAR PUSTAKA

Abdullah Ulwan, Tarbiyah al-Aulad fi al-Islam, (Beirut: Dar al-Salam, 1978) jilid II

Abdurrahman al-Nahlawi, Ushul al-Tarbiyah al-Islamiyyah wa Asalibuhu fi al-Bayt wa al-Madrasah wa al-Mujtama’, (Damaskus: Dar al-Fikr, 1979)Lihat juga terjemahannya oleh Hery Noer Aly (Bandung: Diponegoro, 1992), Bab VI

Abu Ahmadi, Sosiologi Pendidikan, (Surabaya:Bina Ilmu, 1982)

Jalaluddin Rakhmat, Psikologi Komunikasi, (Bandung:Remadja Karya, 1986)

Muhammad Quthb, Sistem Pendidikan Islam, terjemahan Salman Harun, (Bandung: Al-Ma’arif, 1984)

Robert R. Sears, et. al., Patterns of Child Rearing, (Stanford, California: Stanford University Press, 1976)

Sarlito Wirawan Sarwono, Pengantar Umun Psikologi, (Jakarta: Bulan Bintang, 1996)
Powered By Blogger

Cari Blog Ini